Sabtu, 30 Oktober 2010

Perampokan Harta Negara


Perampokan di Era Orde Baru 



                 Sebuah konferensi 3 hari diselenggarakan pada bulan November 1967 di Genewa, Swiss. Konferensi yang disponsori oleh The Life Time Corporation ini menghadirkan Pemerintah Indonesia dan para kapitalis raksasa dunia, seperti korporasi minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British American Tobacco, Siemens dan USA Steel. Dalam konferensi tersebut, 
Pemerintah Indonesia yang diwakili ekonom Orde Baru binaan Amerika Serikat (Mafia Berkeley) menyetujui keinginan para kapitalis untuk menjarah sumberdaya alam Indonesia. Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat; sebuah konsorsium AS/Eropa mendapatkan nikel; Raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar bouksit; perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, dan Prancis mendapatkan hutan tropis Sumatera.
              Sejak 1967, Orde Baru mulai meliberalisasi perekonomian nasional dengan mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim Orde Baru. Di area pertambangan yang dikuasai Freeport diperkirakan cadangan emas mencapai 63,7 juta pon, sedangkan tembaga 50,9 milyar pon. Inilah konsesi yang diberikan Orde Baru kepada para kapitalis untuk merampok kekayaan alam Indonesia sebagai imbalan atas dukungan pemerintah Amerika Serikat terhadap kekuasaan diktaktor Soeharto.

              Pada awal kekuasaannya, rezim Orde Baru mengemis kepada AS agar mendapatkan utang dan bantuan mengatasi keterpurukan ekonomi Indonesia. Untuk membantu Indonesia, AS menggunakan pendekatan multilateral dengan melibatkan IMF, Bank Dunia, ADB, dan PBB.
             Sejak itulah utang luar negeri dijadikan sumber pembiayaan pembangunan Indonesia. Sejak itu Indonesia terperosok dalam jebakan utang luar negeri (debt trap) sehingga Pemerintah selalu bergantung kepada asing. Utang luar negeri merupakan metode ampuh bagi para kreditor untuk menguasai SDA Indonesia sekaligus menggali keuntungan finansial dari proyek dan bunga utang.

              John Perkins dalam bukunya, Confessions of Economic Hit Man, mengungkapkan, timnya bekerja untuk meyakinkah Pemerintah Indonesia melakukan pembangunan infrastruktur jalan raya, pembangkit listrik, pelabuhan, bandar udara, dan kawasan industri yang dibiayai oleh utang luar negeri dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan USAID. Setiap pinjaman selalu disertai syarat: Pemerintah Indonesia harus menggunakan perusahaan rekayasa dan konstruksi dari Amerika Serikat. Dana utang luar negeri untuk Indonesia tidak pernah ditransfer ke rekening Pemerintah, melainkan ditransfer dari Washington langsung ke rekening kantor perusahaan-perusahaan rekayasa dan konstruksi Amerika Serikat. Sebaliknya, Pemerintah Indonesia harus membayar cicilan pokok dan bunganya.

             Dominasi utang luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek membuka luas praktik mark up. Dalam penyusunan proyek yang dibiayai utang, nilai proyeknya terlebih dulu di-mark up rata-rata 30% oleh kreditor.Setelah di-mark up, utang itu pun dikorupsi. Menurut Jeffrey A. Winters, selama kekuasaan Orde Baru, US$ 10 miliar pinjaman Bank Dunia dikorupsi  dari total pinjaman US$ 30 miliar.
Dalam skup yang lebih luas, Ketua Tim Ahli Korupsi ADB Soewardi menyatakan sekitar 30-50% utang luar negeri Pemerintah dikorupsi. Pada akhirnya beban cicilan pokok dan bunga utang Indonesia, termasuk biaya mark up dan korupsi, menjadi tanggungan rakyat.

             Dalam catatan Rachmat Basoeki, Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin) yang mengendalikan kebijakan keuangan negara, melalui Bank Indonesia secara diam-diam menyalurkan Kredit Pembauran untuk industri tanpa agunan. Jumlah kredit KLBI selama 1985-1988 yang telah dikucurkan Pemerintah kepada konglomerat mencapai Rp 100 triliun.11 Tidak puas menguras uang negara melalui BI, para konglomerat kembali dimanjakan oleh Menteri Keuangan JB Sumarlin dengan mengeluarkan Pakto 88 yang menjadi awal liberalisasi sistem perbankan Indonesia. Paket deregulasi perbankan ini memberikan kemudahan bagi pengusaha mendirikan bank devisa hanya bermodal Rp 100 miliar dengan syarat personalia yang sangat ringan. Hal ini memberikan kesempatan konglomerat yang bermental perampok pun dapat duduk sebagai komisaris dan direktur bank.
               Para konglomerat, selain membidik bank Pemerintah sebagai sumber dana konglomerasi, juga menjadikan bank swasta yang mereka dirikan sebagai sumber permodalan. Atas nama pembangunan, melalui sistem perbankan ribawi para konglomerat menghisap ratusan triliun uang rakyat untuk kepentingan konglomerasi mereka. Tidaklah aneh, banyak bank swasta melakukan pelanggaran BMPK (Batas Minimum Penyaluran Kredit) karena sebagian besar dana kredit bank disalurkan kepada kelompok usaha mereka sendiri. Datangnya krisis moneter 1997 mengungkap ratusan triliun kredit macet pada sistem perbankan nasional. Namun, para konglomerat sejak medio 1996 telah melarikan dana lebih dari US$ 100 miliar dari bank-bank di Indonesia ke bank-bank di Singapura. 

Perampokan di Era Reformasi
 

                Masuknya IMF ke Indonesia menjadi sumber malapetaka negeri ini. Melalui LoI yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998, Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus mendapatkan komitmen Pemerintah untuk mengambil-alih seluruh utang konglomerat di dalam negeri dan di luar negeri. Komitmen ini dituangkan dalam Keputusan Presiden (Kepres) nomor 24, 26, dan 27 yang diterbitkan pada akhir Januari 1998. Kepres ini merupakan landasan hukum penjaminan Pemerintah atas segala kewajiban pembayaran bank umum dan program penyehatan perbankan nasional.

                  Berdasarkan landasan hukum ini, BI mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 144,536 triliun yang dikucurkan kepada jaringan perbankan nasional. Menurut analisis Dicky Iskandardinata, dana BLBI yang dikucurkan pada bank swasta berbalik menjadi sumber kehancuran nilai rupiah. Terjadinya kebocoran Rp 51 triliun atau US$ 13 miliar dana BLBI diindikasikan digunakan oleh kelompok tertentu penerima BLBI untuk mengambil untung di pasar uang.15 Berdasarkan hasil audit BPK atas penyaluran dana BLBI sebesar Rp 144,536 triliun per 29 Januari 1999, potensi kerugian negara mencapai Rp 138,442 triliun.Total dana BLBI yang dikucurkan BI mencapai Rp 218,31 triliun.

                    Setelah utang-utang konglomerat baik dalam bentuk kredit macet maupun pinjaman luar negeri diambil-alih BI melalui dana BLBI, Pemerintah melaksanakan program penyehatan perbankan nasional di bawah pengawasan IMF. Jumlah dana yang digelontorkan Pemerintah dalam bentuk obligasi rekap (OR) mencapai Rp 427,46 triliun. OR memang bukan dana tunai, tetapi bank nasional yang mendapatkan obligasi rekap dari Pemerintah memiliki hak tagih pada saat jatuh tempo. Seluruh hak tagih bank pemegang obligasi rekap dibebankan kepada rakyat melalui APBN.

                    Jumlah nominal BLBI, program penjaminan, dan OR yang menjadi utang baru rakyat Indonesia mencapai Rp 655,75 triliun.18 Utang ini akan terus bertambah karena beban bunga OR cukup tinggi. Pada tahun 2002 jumlah cicilan bunga OR yang harus dibayar Pemerintah kepada bank-bank pemegang OR mencapai Rp 88,5 triliun.19 Berdasarkan analisis Kwik Kian Gie, periode Januari-September 2002 Bank Mandiri mendapatkan pembayaran bunga OR sebesar Rp 15,16 triliun.20 Bank-bank penerima OR juga diperbolehkan menambah permodalan dengan menjual OR yang mereka pegang di pasar modal.

                   Reformasi politik ekonomi oleh IMF menjadikan Indonesia sebagai ladang penjarahan. Parahnya, penjarahan tersebut dilegalisasi oleh Pemerintah dalam bentuk kepres dan disetujui oleh DPR. Sangat kuat indikasi kerjasama asing, korporat, politisi, birokrat untuk melegalkan perampokan harta negara. Berbagai argumentasi liberal digunakan untuk membenarkan penjualan aset-aset negara dan pengkaplingan SDA.

                   Para pejabat negara dan ekonom neo-liberal memandang beban nominal OR senilai Rp 655,75 triliun yang jumlahnya terus bertambah merupakan konsekuensi logis dari upaya pemulihan ekonomi. Sebaliknya, mereka menganggap anggaran subsidi berbagai kebutuhan publik telah menggerogoti keuangan negara sehingga subsidi harus dihapuskan. Mereka juga memandang BUMN-BUMN tidak efisien sehingga BUMN harus diprivatisasi. Tahun 2008 ini Pemerintah memprivatisasi 37 BUMN kepada swasta dan asing. Bahkan Pemerintah merencanakan akan menjual seluruh saham 14 BUMN yang bergerak di bidang industri.

                   Atas nama investasi, Indonesia dipaksa melegalisasi perampokan SDA oleh para investor. Bahkan dalam skema kontrak dengan investor migas, Pemerintah RI-lah yang harus menanggung seluruh biaya produksi dan biaya kerugian (cost recovery) investor. Tahun 2007 Pemerintah menanggung cost recovery sebesar US$ 8,338 miliar atau setara dengan Rp 76,709 triliun (kurs 9.200/dolar). 


Solusi Islam

Perampokan harta negara terjadi karena lemahnya kemampuan Pemerintah mengelola negara. Faktor ini disebabkan oleh:

1.  Ketundukan Pemerintah pada kepentingan asing dan korporat.

              Sikap pragmatisme dan tamak penguasa dan pejabat negara yang hanya mengejar kedudukan dan keuntungan materi menyebabkan mereka mudah ditundukkan oleh kepentingan asing, baik dengan jalan ditekan maupun disuap. Bahkan mereka sendirilah yang mengemis kepada Barat agar diberikan bantuan meskipun konsekuensinya negara harus digadaikan.

              Islam melarang penguasa negeri-negeri Muslim memberikan kepercayaan kepada bangsa-bangsa kafir apalagi dengan menyerahkan pengaturan kebijakan politik ekonomi negara kepada mereka. Seorang penguasa laksana perisai yang dibelakangnya rakyat berlindung sehingga seharusnya negara mencegah intervensi asing.

               IMF, Bank Dunia, ADB dan utang dari negara-negara kreditor terbukti menyengsarakan rakyat. Lembaga-lembaga ini merupakan penjahat dunia yang memberikan jalan atas perampokan kekayaan alam dan harta negara. Karena itu, hubungan dengan lembaga-lembaga tersebut harus diputuskan.

2.  Ketiadaan konsep (fikrah) dan metode (tharîqah) mengelola negara.

               Ketiadaan konsep dan metode untuk membangun negara menyebabkan Pemerintah menjiplak Kapitalisme yang disodorkan Barat. Akibatnya, daya nalar mereka hampir tidak mampu menjangkau penjarahan asing atas sumberdaya alam Indonesia, perampokan uang negara melalui sistem perbankan ribawi dan penderitaan masyarakat akibat mengalami marginalisasi pembangunan.
 Untuk mengatasi hal ini, syariah Islam mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan harta milik umum, kebijakan keuangan negara, dan kebijakan transaksi keuangan.

                Dari sisi kebijakan pengelolaan keuangan negara, syariah Islam tidak memperbolehkan negara melakukan pinjaman ribawi. Sebagai alternatif sumber-sumber pembiayaan negara, Abdul Qadim Zallum mengklasifikasi sumber penerimaan negara ke dalam tiga pos, yakni: pos harta milik negara (fai’ dan kharaj); pos harta milik umum; dan pos sedekah.

                Potensi sumberdaya alam Indonesia merupakan sumber penerimaan negara yang sangat besar. Namun, dalam APBN 2008 penerimaan SDA non-migas hanya Rp 7,4 triliun.24 Hal ini disebabkan kepemilikan dan hasil-hasil SDA jatuh ke tangan swasta dan asing. Dalam syariah Islam, kekayaan SDA yang jumlahnya melimpah termasuk ke dalam harta milik umum sehingga negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan SDA kepada swasta dan asing. Kekayaan SDA harus dikelola oleh negara dan hasilnya dimasukkan ke dalam pos harta milik umum.

                 Untuk merealisasikan pengelolaan SDA, negara harus memiliki badan-badan yang berfungsi untuk menggali barang tambang, kemudian mengolahnya, menjualnya ke luar negeri, ataupun menyalurkan pemanfaatannya secara langsung kepada masyarakat. Badan-badan yang diperlukan untuk pelayanan publik juga harus dimiliki oleh negara. Karena itu, syariah Islam melarang privatisasi sektor-sektor pemilihan umum (minyak, listrik, gas, emas, dll).

                 Dengan tegaknya kemandirian negara, hukum-hukum keuangan Negara Islam, kepemilikan umum, dan pelarangan transaksi ribawi, maka tidak ada lagi jalan untuk merampok harta negara. Apabila terjadi pelanggaran maka negara akan memberikan hukuman berat. Negara juga melarang pemberian hadiah dan suap kepada pejabat dan aparat negara. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

[JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS /www.jurnal-ekonomi.org]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar