Sabtu, 30 Oktober 2010

Ilusi MDG's


               Pada 20-22 September 2010 lalu PBB menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi tentang Millennium Development Goals (MDG) di New York. KTT MDG yang mengangkat tema We Can End Poverty by 2015 dihadiri kurang lebih 150 kepala negara dan pemerintahan. KTT berupaya untuk menggalang komitmen para pemimpin dunia memerangi kemiskinan.

                 Hasil KTT MDG tersebut terangkum dalam sebuah dokumen yang berjudul Keeping the Promise: United to Achieve the Millennium Development Goals”. Inti rekomendasi yang diadopsi dalam Keeping the Promise adalah menguatkan kembali komitmen para pemimpin dunia terhadap MDGs dan membuat langkah konkrit untuk mencapai tujuan MDGs 2015.

                 MDGs bermula dari KTT Milenium yang diselenggarakan PBB pada September 2000 dengan hasil Deklarasi Milenium. Pada sidang PBB ke 56 tahun 2001, Sekretaris Jenderal PBB menyampaikan laporan dengan judul Road Map Towards the Implementation of the UN Millennium Declaration. Laporan ini memuat upaya pencapaian delapan sasaran pembangunan dengan 18 target dan 48 indikator pada tahun 2015 yang kemudian dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs).

Delapan Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) tersebut terdari atas:

  1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem
  2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua
  3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
  4. Menurunkan angka kematian anak
  5. Meningkatkan kesehatan ibu
  6. Memerangi HIV dan aids, malaria dan penyakit lainnya
  7. Memastikan kelestarian lingkungan
  8. Mempromosikan kerjasama global untuk pembangunan

Poin pertama MDGs berisi target pada tahun 2015 jumlah penduduk miskin dunia yang berpenghasilan di bawah $1 dapat dikurangi setengahnya dari 1,3 milyar berdasarkan kondisi tahun 1990.

Kemiskinan yang Berkelanjutan
             Upaya pencapaian target MDGs sudah berjalan 10 tahun sejak diformulasikan dalam Peta Jalan Menuju Implimentasi Deklarasi Milenium PBB. Waktu untuk mencapai target MDGs hanya menyisakan 5 tahun lagi. Namun masalah kemiskinan ekstrim saja masih jauh dari harapan. Dalam The Millennium Development Goals Report 2010 tingkat kemiskinan ekstrim dunia dengan standar 1,25 dollar per hari mencapai 1,4 milyar pada 2005. Jumlah ini lebih tinggi dari 1990 dengan standar $1 per hari.

                Tantangan mengurangi jumlah kemiskinan ekstrim semakin berat dengan krisis keuangan global, krisis energi, dan krisis pangan dunia. Menurut Bank Dunia kemiskinan ekstrim bertambah 50 juta pada 2009 dan 64 juta tahun ini. Krisis membuat tingkat kemiskinan bisa lebih tinggi pada 2015.

                 Permasalahan yang dihadapi tidak hanya masalah jumlah kemiskinan tetapi juga ketimpangan. Tahun 2006, dari sisi Produk Domestik Bruto 6,5 milyar penduduk dunia menghasilkan kekayaan $48,2 trilyun. Penduduk negara-negara maju yang berjumlah 1 milyar menghasilkan kekayaan $36,6 trilyun atau 76% dari PDB dunia. Sebaliknya 2,4 milyar penduduk dari negara-negara berpendapatan rendah hanya menghasilkan $1,6 trilyun.
Setiap 1 penduduk negara maju memiliki pendapatan rata-rata 72 kali lipat dibandingkan pendapatan penduduk di negara yang berpendapatan rendah.

             Angka tersebut menjelaskan jurang pendapatan semakin lebar. Sebab pada tahun 1960 perbedaannya mencapai 30 kali lipat. Padahal sebagian besar sumber daya manusia dan sumber daya alam terdapat di negara-negara berpendapatan rendah.

Jika dibandingkan dengan era kolonialisme perbedaan ketimpangan semakin jauh. Tahun 1913 perbedaannya 11 banding 1. Ini indikator yang menggambarkan tingkat penghisapan pada zaman modern jauh lebih dasyat dibandingkan zaman kolonialisme.

                 Ketimpangan juga terjadi antara penduduk kaya dengan mayoritas penduduk dalam sebuah negara. Sekitar 497 orang paling kaya di dunia pada 2006 memiliki kekayaan $3,5 trilyun. Perbandingannya dengan pendapatan penduduk negara-negara maju sendiri mencapai 14 ribu kali lipat.

Ini bukti sasaran MDGs tahun 2015 hanyalah ilusi. Kemiskinan tidak dapat berakhir tetapi terus berkelanjutan. Sementara negara-negara maju yang diharapkan menjadi penolong juga menghadapi masalah yang tidak kalah pelik.
Di Amerika Serikat misalnya kemiskinan terus bertambah. Sejak 2000 kemiskinan meningkat dari 11,3% menjadi 14,3% pada 2009. Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pun menjadi 43,6 juta orang.

                AS juga menanggung rekor hutang yang paling buruk. Sejak Deklarasi Milenium PBB September 2000, hutang publik AS $5,6 trilyun meningkat 2,4 kali lipat menjadi 13,6 trilyun dollar pada tahun ini. Pembengkakkan hutang didorong oleh defisit anggaran yang semakin besar. Tahun ini defisit AS mencapai 1,294 trilyun dollar sedangkan pada tahun lalu defisit anggaran 1,416 trilyun dollar.

Ilusi MDGs

                MDGs memposisikan kebergantungan dunia kepada negara-negara maju, Bank Dunia dan IMF. Jika tidak ada komitmen dalam memberikan bantuan pembangunan, pemotongan hutang, dan membuka akses pasar bagi ekspor negara-negara berkembang, seolah-olah kemiskinan dunia tidak dapat dientaskan.
KTT MDG September 2010 semakin mengukuhkan pola kebergantungan tersebut. Mengapa MDGs mengukuhkan kebergantungan? Padahal negara-negara maju yang diharapkan menjadi fondasi dalam memberikan bantuan sedang terlilit hutang publik dan defisit anggaran yang sangat besar.

                 Tahun ini defisit anggaran AS setara 10% PDB-nya. Rasio defisit Inggris 13,3%, Perancis 8,6%, Jepang 8,2%, Italia 5,4%, Jerman 5,3%, dan Kanada 5,2%. Mereka juga terlilit hutang yang terus bertambah. Hutang publik AS 96,2% PDB, Jepang 104,6%, Italia 100,8%, Perancis 60,7%, Inggris 59%, Jerman 54,7%, sedangkan Kanada 32,6%.

                Secara rasional tidak mungkin negara-negara maju di tengah permasalahan berat dapat memecahkan masalah kemiskinan dunia ketiga. Justru mereka sedang memerlukan sumber daya untuk membiayai krisis.
Tidak aneh pola kebergantungan dalam MDGs adalah strategi untuk menjebak dunia dalam lingkaran setan ekonomi. Mereka berkepentingan mengalihkan perhatian negara-negara berkembang dan terkebelakang dari masalah yang sebenarnya agar dunia tidak memahami kerusakan Kapitalisme dan penjajahan modern (neoimperialisme).

                Karenanya sangat logis MDGs tidak berbicara tentang apa yang menjadi akar masalah kemiskinan dan bagaimana metode mengatasinya. MDGs tidak sedikit pun menggugat penjajahan ekonomi yang dilakukan negara-negara maju dan tidak juga berbicara sisi fundamental kerusakan ekonomi Kapitalis yang menjadi penyebab krisis pangan, krisis energi, serta krisis ekonomi dan keuangan.

                MDGs hanya berisi seruan dan komitmen belaka. KTT yang digelar pun hanya menegaskan kembali seruan dan komitmen untuk mencapai delapan sasaran MDGs dengan slogan We Can End Poverty by 2015. Bahkan untuk memperkuat opini seruan MDGs, para selebritis dan olahragawan dunia menjadi bagian penting dalam kampanye MDGs.

Memformat Ulang Struktur Ekonomi

                 Kemiskinan dan ketimpangan merupakan problem yang timbul dari kekacauan struktur ekonomi. Inti masalahnya terletak pada distribusi kekayaan. Sehingga untuk memecahkan masalah kemiskinan harus fokus pada masalah ini. Pertanyaannya, model distribusi kekayaan yang seperti apa yang dapat menjadi solusi?

               Sistem ekonomi Kapitalis menciptakan struktur ekonomi yang timpang disebabkan faktor kebebasan kepemilikan yang mendorong setiap orang berorientasi profit dan materialistik. Siapa yang kuat merekalah yang menang yang lemah mati. Di sini berlaku hukum alam.
Kapitalisme tidak hanya menciptakan struktur di mana sejumlah kecil individu menghisap masyarakat, tetapi menjadikan negara-negara kapitalis dan korporasinya sebagai “drakula” yang menghisap sumber daya ekonomi dunia.

                 Untuk itu dunia harus memformat ulang struktur ekonominya. Model yang diajukan Taqiyuddin an-Nabhani dengan berpijak pada syariah Islam dapat dijadikan solusi untuk masalah ini.

                Struktur pertama yang harus dirombak adalah sistem kepemilikan. Islam membagi kepemilikan menjadi kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Kepemilikan individu diakui karena merupakan bagian dari hak manusia untuk mempertahankan hidupnya. Kepemilikan individu diatur agar tidak menzalimi manusia lainnya. Karena itu tidak boleh individu menguasai aset dan sumber daya yang seharusnya masuk dalam kepemilikan negara atau pun kepemilikan umum.

               Struktur kedua yang harus dirombak adalah yang berkaitan dengan masalah mengembangkan kekayaan atau investasi. Sistem ekonomi kapitalis menciptakan kegiatan ekonomi berbasis riba dan judi sehingga perbankan dan bursa saham menjadi poros ekonomi. Akibatnya ekonomi didominasi sektor keuangan yang mempercepat tingkat ketimpangan ekonomi dunia. Sektor ini pula yang menjadi sumber krisis dunia dan berdampak pada penciptaan kemiskinan.

Dalam Islam semua transaksi ekonomi dan pengembangan kekayaan harus terikat hukum syara’ dengan akad-akad yang syar’i dan adil. Wilayah transaksi pun hanya berada di sektor riil pada basis-basis kegiatan ekonomi yang dihalalkan syariah. Tidak ada dikotomi antara sektor riil dan sisi moneter. Sistem moneter hanya berkaitan dengan sistem mata uang emas dan perak tidak ada riba, judi, dan spekulasi.

               Struktur ketiga adalah terciptanya suatu kondisi di mana setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Politik ekonomi Islam harus menjadi basis kebijakan ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah politik yang menjamin setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pokok dan mendorong mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Politik ini mencegah kebiijakan negara yang pro pemilik modal dan anti rakyat sebagaimana ekonomi liberal yang dijalankan Indonesia saat ini.

Langkah Perubahan
               MDGs bukanlah solusi. MDGs menjadi alat imperialisme negara-negara Kapitalis untuk mengalihkan perhatian dunia dari masalah sebenarnya yakni kerusakan ekonomi dan penjajahan. MDGs juga semakin memperkokoh kebergantungan terhadap negara-negara maju.

              Jalan yang harus ditempuh adalah memformat ulang struktur ekonomi dunia dengan sistem ekonomi Islam. Untuk mencapainya langkah perubahan harus dilakukan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangunkan kesadaran dunia akan masalah yang sebenarnya. Langkah kedua memutus mata rantai penjajahan negara-negara Kapitalis. Langkah ketiga adalah mewujudkan sistem khilafah yang akan memimpin dunia membebaskan diri dari penjajahan dan kemiskinan. 
[JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS / www.jurnal-ekonomi.org]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar