Sabtu, 30 Oktober 2010

HIZBUT TAHRIR INDONESIA : "Krisis Finansial Global, Tanda Makin Nyata Kehancuran Kapitalisme"


           Seperti telah ramai diberitakan, saat ini tengah terjadi keguncangan hebat di hampir seluruh bursa saham dunia, termasuk di Indonesia. Indeks saham melorot tajam. Sejumlah perusahaan keuangan raksasa dunia bangkrut. Perusahaan perkreditan rumah Fannie Mae dan Freddie Mac misalnya, yang memberi garansi utang senilai 5,3 trilyun dollar AS, yang meliputi separuh lebih dari utang perkreditan rumah di AS, pun ambruk. Pemerintah AS akhirnya terpaksa menyelamatkan dua perusahaan tersebut dengan menggelontorkan uang dari kas pajak warga negaranya sebesar 200 miliar dollar. Bukan hanya itu, Lehman Brothers, salah satu perusahaan investasi bank AS terbesar juga gulung tikar. 

           Inilah akhir nasib bank terbesar dan tertua yang berdiri tahun 1844. Padahal di tahun 2007 Lehman masih melaporkan jumlah penjualan sebesar 57 miliar dollar, dan di bulan Maret lalu masih sempat dinyatakan oleh majalah Business Week sebagai salah satu dari 50 perusahaan papan atas di tahun 2008. Perusahaan investasi lain seperti Merril Lynch, yang bertahun-tahun sempat menjadi raksasa Wall Street, juga bernasib sama. Sementara AIG, salah satu perusahaan asuransi terbesar juga memohon untuk disuntikkan dana darurat sebesar 40 miliar dollar dari pemerintah AS untuk menghindari kebangkrutan total. Rentetan peristiwa ini dirangkum oleh majalah Wall Street Journal dengan kata-kata, ”Sistem keuangan Amerika terguncang hingga ke pusarnya.”

          Akibat krisis itu, sejumlah institusi keuangan diperkirakan mengalami kerugian, di Amerika Serikat saja mencapai 300 miliar dollar AS, sementara di negara-negara lain diperkirakan 550 miliar dollar AS. Sejumlah negara, khususnya negara kaya, termasuk Amerika Serikat mulai menggelontorkan dana miliaran dollar ke pasar modal untuk menopang pasar dan mem-backup likuiditas agar bisa menggerakkan aktivitas ekonomi. Bahkan, sebagian ada yang melakukan intervensi langsung sampai pada level menasionalisasi sebagian bank, sebagaimana yang terjadi di Inggris. Dengan kata lain, sistem ekonomi Kapitalis benar-benar telah mati suri, setelah sistem Sosialisme-Komunisme benar-benar terkubur.

          Berbagai langkah juga telah dilakukan secara global. Empat negara besar Eropa, Perancis, Jerman, Inggeris dan Italia segera mengadakan pertemuan, dan mengundang pertemuan lebih luas untuk mengkaji sistem moneter. Begitu juga menteri-menteri keuangan dan para pimpinan bank sentral yang tergabung dalam G-7 atau G-8 ditambah Rusia mengadakan pertemuan di Washington. Namun, apakah upaya-upaya ini akan bisa menyelamatkan ekonomi kapitalis, sebagaimana istilah yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyebut langkahnya itu dengan istilah “Rancangan Penyelamatan”?

         Sebenarnya sistem ekonomi kapitalis saat ini tengah berada di tepi jurang yang dalam, jika belum terperosok di dalamnya. Semua rencana penyelamatan yang mereka buat tidak akan pernah bisa memperbaiki keadaan, kecuali hanya menjadi obat yang meringankan rasa sakit untuk sementara waktu. Itu karena sebab-sebab kehancurannya berpangkal pada akarnya, bukan hanya robek di dahan-dahannya. Yakni:

         Pertama, dengan menyingkirkan emas sebagai cadangan mata uang, dan dimasukkannya dollar sebagai pendamping mata uang dalam Perjanjian Bretton Woods, setelah berakhirnya Perang Dunia II, kemudian sebagai substitusi mata uang pada awal dekade tujuhpuluhan, telah menyebabkan dollar AS mendominasi perekonomian global. Akibatnya, goncangan ekonomi sekecil apapun yang terjadi di AS pasti akan menjadi pukulan yang telak bagi perekonomian negara-negara lain. Sebab, sebagian besar cadangan devisanya, jika tidak keseluruhannya, dicover dengan dollar yang nilai intrinsiknya tidak sebanding dengan kertas dan tulisan yang tertera di dalamnya. Setelah Euro memasuki arena pertarungan, baru negara-negara tersebut menyimpan cadangan devisanya dengan mata uang non-dollar, meski dollar tetap saja memiliki prosentase terbesar dalam cadangan devisa negara-negara tersebut secara umum.
Karena itu, selama emas tidak menjadi cadangan mata uang, maka krisis ekonomi seperti ini akan terus terulang. Sekecil apapun krisis yang menimpa dollar, maka krisis tersebut akan dengan segera menjalar ke perekonomian negara-negara lain. Kondisi seperti akan menimpa uang kertas negara manapun yang mempunyai kontrol terhadap mata uang negara lain.

           Kedua, hutang-hutang ribawi (bunga berbunga) telah menciptakan masalah perekomian yang besar, hingga kadar hutang pokoknya menggelembung seiring dengan waktu, sesuai dengan prosentase bunga yang diberlakukan kepadanya. Akibatnya, ketidakmampuan individu dan negara dalam banyak kondisi menjadi problem yang nyata. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya krisis pengembalian pinjaman, dan lambannya roda perekonomian, karena ketidakmampuan sebagian besar kelas menengah dan atas untuk mengembalikan pinjaman dan melanjutkan produksi.

           Ketiga, sistem yang digunakan di bursa dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan komoditi tanpa adanya syarat serah-terima komoditi yang bersangkutan, bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali, tanpa harus mengalihkan komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli, adalah sistem yang jelas telah menimbulkan masalah, bukan sistem yang bisa menyelesaikan masalah, dimana naik dan turunnya transaksi terjadi tanpa proses serah terima dan tanpa dasar yang riil, bahkan tanpa adanya komiditi yang bersangkutan. Semuanya itu memicu terjadinya spekulasi dan goncangan di pasar. Begitulah, berbagai kerugian dan keuntungan terus terjadi melalui berbagai cara penipuan dan manipulasi. Semuanya terus berjalan dan berjalan, sampai terkuak dan menjadi malapetaka ekonomi.

Disamping itu, adanya produk derivativasi (turunan) seperti obligasi kolateral dari hutang (collateralised debt obligations), obligasi hutang pembelian rumah (mortgage debt obligations), penukaran kredit jatuh tempo (credit default swaps) yang semuanya merupakan sumber terjadinya kegagalan kredit makin memperumit keadaan. Filsafat pemikiran yang mendasari pertumbuhan derivativasi adalah asumsi teoritis bahwa resiko bisa dipindahkan ke lembaga lain yang mampu mengatasinya.
Pada prakteknya, derivativasi tidak lain adalah bentuk senjata keuangan penghancur massal. Semua lembaga yang akhirnya bangkrut termakan oleh asumsi tersebut dimana mereka berharap mengambil keuntungan dengan mentransfer resiko ke lembaga lainnya. Yang terjadi adalah mereka justru menumpuk sebatas kertas-kertas tidak bernilai yang memicu timbulnya kerugian yang sangat besar. Ini semua membuka kedok Kapitalisme yang mempromosikan praktik-praktik keuangan semacam ini.

           Memang, berbagai pakar dan analis mengurai berbagai alasan yang melahirkan krisis yang terjadi, misalnya peraturan yang longgar, tidak adanya transparansi, kinerja perusahaan yang menilai resiko dan juga sekuritas pinjaman sub-prime yang kompleks. Meskipun faktor-faktor tersebut memang memberikan kontribusi kepada krisis, penfokusan hanya pada faktor-faktor itu justru akan mengesampingkan isu yang jauh lebih besar dan tidak akan mengambil pelajaran dari krisis yang terjadi sebelum krisis yang terakhir.

            Krisis yang terakhir, sebagaimana krisis sebelumnya selama 200 tahun terakhir sebenarnya memiliki pola yang mirip, sebagaimana proses terjadinya suatu gelembung, yang membesar, dan kemudian meletus. Ironisnya, orang-orang yang berpartisipasi dalam pembentukan gelembung justru baru menyadari betapa tidak rasionalnya tindakan mereka setelah mengalami pecahnya gelembung. 
Ada empat tahap terjadinya gelembung ekonomi (bubble economy):

       Pertama, pengembangan atau inovasi teknologi atau produk. Bila di masa lampau dahulu pengembangan dan inovasi produk dilakukan seperti dengan pembangunan jaringan kereta api, telekomunikasi, perkapalan, dan perusahaan internet dotkom, kini ”inovasi produk” juga dilakukan dalam industri keuangan, yang intinya sebenarnya hanya memainkan riba dan spekulasi (judi).

        Kedua, pemasaran produk dengan intensitas tinggi pada masyarakat dengan janji bahwa produk atau inovasi tertentu akan mengubah cara dan gaya hidup secara luarbiasa, yang intinya sebenarnya hanya menawarkan harapan yang didasarkan pada kepercayaan rapuh. 

        Ketiga, terbentuknya pola perdagangan spekulatif, yang mulai mengenyampingkan akal sehat, mendorong akselerasi pembesaran gelembung. Semua orang dari berbagai latarbelakang ikut-ikutan terjun dalam perdagangan ini. Masyarakat dan para pakar pun dicekoki dengan jaminan bahwa pasar tidak akan jatuh, dan bahwa situasi yang ada berbeda dan tidak akan mengulang krisis sebelumnya. Jaminan seperti ini diikuti dengan adanya ‘inovasi’ keuangan seperti pengembangan produk sekuritas yang kompleks (obligasi hutang kolateral, dimana hutang seseorang dijual kepada pihak ketiga hingga berkali-kali guna mengurangi dan menyebarkan tingkat resiko). Praktik inovasi ini dianggap sebagai revolusi keuangan. Sekali lagi industri keuangan berusaha meyakinkan publik bahwa ’saat ini adalah saat yang berbeda, dasar pemikirannya jauh lebih solid’.

        Keempat, timbulnya kesadaran bahwa inovasi baru yang ditawarkan secara gencar ternyata tidak sebaik yang diharapkan. Uang atau modal yang telah terinvestasi, dan ikut membantu pembesaran gelembung pada tahap sebelumnya, ternyata tidak berhasil menghasilkan keuntungan yang telah dibayangkan sebelumnya. Pada titik ini, gelembung pun pecah dan akibatnya benar-benar melahirkan bencana. Ekses ekonomi telah melahirkan Depresi Besar di tahun 1920an, dan meletusnya gelembung Dotkom ketika perusahaan Dotkom mulai bangkrut karena janji-janji mereka untuk menghasilkan keuntungan ternyata perlu waktu 50 tahun. Ambruknya perusahaan peminjaman hutang pembelian rumah (subprime mortage) pada bulan April 2007 juga berawal dari informasi, bahwa pasar penjualan rumah di AS memiliki fondasi yang kuat.

      Mereka yang bertanggungjawab pada gelembung spekulatif di tahun 2007 sama sekali tidak membayangkan bahwa pada satu hari gelembung itu akan pecah. Di situlah kesombongan mulai timbul. Aktivitas yang menghasilkan keuntungan secara masif dan diikuti oleh bonus dengan yang besar menjadi motor pasar properti. Bahkan ketika mulai ada tanda-tanda keretakan, mereka menyalahkan semua orang kecuali mereka sendiri. Krisis yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya menunjukkan bahwa kekuatan pasar keuangan hanyalah sebatas ilusi saja. Mood kesenangan bisa hilang dalam sekejap, kerugian yang berakhir dengan dipecatnya eksekutif perusahaan. 

       Adalah sifat kapitalisme yang tidak pernah cukup, dan semuanya serba kurang, tidak ada pertumbuhan yang terlalu tinggi, tidak ada spekulasi yang sangat spekulatif, tidak ada gaji yang terlalu tinggi, tidak ada mobil yang terlalu banyak, tidak ada produksi minyak yang terlalu tinggi, semuanya serba kurang, dan harus digenjot semaksimal mungkin. Apa yang Kapitalisme telah ciptakan tidak lain adalah spekulasi,kerakusan, kesombongan dan berfoya-foya. Itulah sebabnya setiap gelembung selalu berakhir dengan letusan, dan akan terus terjadi secara berulang-ulang, seperti yang saat ini kembali terjadi.

Berkenaan dengan kenyataan di atas, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

     1. Krisis finansial global, sekali lagi menggarisbawahi rapuhnya Kapitalisme dimana efek multidimensi dari krisis tersebut memerlukan dan menuntut diberlakukannya sistem alternatif bila manusia di seluruh dunia tidak ingin dibuat menderita terus menerus. 

     2. Sistem alternatif itu tidak lain adalah sistem ekonomi Islam – yang sebenarnya jauh lebih kompleks dari sekedar pelarangan riba (bunga). Berbeda dari Kapitalisme, sistem ekonomi Islam selalu menomorsatukan kebutuhan dan pemberdayaan masyarakat secara riil –-bukan sekedar pertumbuhan ekonomi saja-– sebagai isu utama yang memerlukan jalan keluar dan penerapan kebijakan. Sistem Islam memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda tentang ekonomi, sehingga jalur pengembangan ekonominya pun berbeda dari Kapitalisme.

          Sistem Ekonomi Islam menfokuskan pada manusia dan pemenuhan kebutuhannya, bukan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Nabi Muhammad saw bersabda, ”Anak Adam tidak memiliki hak selain memiliki rumah untuk berteduh, pakaian untuk menutupi dirinya, dan sepotong roti dan seteguk air.” (Hr. At-Tirmidhi). Dasar pemikiran yang membentuk sistem ekonomi Islam melahirkan kebijakan dan peraturan yang diarahkan untuk mencapai fokus tersebut. Islam menaruh perhatian khusus untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagaimana yang diterangkan dalam hadith sebelumnya, ketimbang pada penambahan angka GDP saja. 

            Dalam hal ini, negara diwajibkan oleh Islam untuk memiliki peran langsung dalam pencapaian tujuan ekonomi, dan tidak begitu saja membiarkannya kepada sistem pasar bebas. Nabi Muhammad Saaw bersabda, ”Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” (H.r. Ibn Majah)
Berdasarkan dari hadith Nabi tersebut, negara menguasai kepemilikan dari sumber daya alam berbasis api seperti minyak, gas bumi, penyulingan, instalasi pembangkit listrik sebagaimana sumber air. Dengan demikian, masyarakat tidak akan rawan untuk menjadi obyek eksploitasi perusahaan swasta yang meraup keuntungan dari instalasi strategis yang tersebut diatas. Negara juga akan mengontrol lembaga-lembaga yang mengatur atau mengurus instalasi tersebut sehingga mampu untuk segera bertindak ketika diperlukan dan sebelum terlambat.

           Ekonomi Islam tidak mengenal dualisme ekonomi yaitu ekonomi yang terdiri dari sektor riil dan sektor keuangan, dimana aktifitasnya didominasi oleh praktik pertaruhan terhadap apa yang akan terjadi pada ekonomi riil. Ekonomi Islam didasarkan pada ekonomi riil. Dengan demikian, semua aturan ekonomi Islam memastikan agar perputaran harta kekayaan tetap berputar. Larangan terhadap adanya bunga (riba) bisa dipraktikan dengan melakukan investasi modal di sektor ekonomi rill, karena penanaman modal di sektor lain dilarang. Kalaupun masih ada yang berusaha menaruh sejumlah modal sebagai tabungan atau simpanan di bank (yang tentunya juga tidak akan memberikan bunga), modal yang tersimpan tersebut juga akan dialirkan ke sektor riil. Artinya, tiap individu yang memiliki lebih banyak uang bisa ia tanam di sektor ekonomi riil, yang akan memiliki efek berlipat karena berputarnya uang dari orang ke orang yang lain. Keberadaan bunga, pasar keuangan, dan judi secara langsung adalah faktor-faktor yang menghalangi perputaran harta.

          Islam menetapkan bahwa emas dan perak merupakan mata uang, bukan yang lain. Mengeluarkan kertas substitusi harus dicover dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, dan tidak berubah.

            Seluruh dunia di masa lalu terus menerus menggunakan standar emas dan perak itu sebagai mata uang sampai beberapa saat sebelum Perang Dunia I, ketika penggunaan standar tersebut dihentikan. Seusai Perang Dunia I, standar emas dan perak kembali diberlakukan secara parsial. Kemudian penggunaannya semakin berkurang dan pada tanggal 15 Juli 1971 standar tersebut secara resmi dihapus, saat dibatalkannya sistem Bretton Woods yang menetapkan bahwa dollar harus ditopang dengan jaminan emas dan mempunyai harga yang tetap. Dengan demikian, sistem uang yang berlaku adalah sistem uang kertas inkonvertibel, yang tidak ditopang jaminan emas dan perak, tidak mewakili emas dan perak, dan tidak pula mempunyai nilai intrinsik. Nilai pada uang kertas tersebut hanya bersumber dari undang-undang yang memaksakan penggunaannya sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender).

           Negara-negara penjajah telah memanfaatkan uang tersebut sebagai salah satu alat penjajahan. Mereka mempermainkan mata uang dunia sesuai dengan kepentingannya dan membangkitkan goncangan-goncangan moneter serta krisis-krisis ekonomi. Mereka juga memperbanyak penerbitan uang kertas inkonvertibel tersebut, sehingga berkecamuklah inflasi yang menggila, yang akhirnya menurunkan daya beli pada uang tersebut. Inilah salah satu faktor yang menimbulkan kegoncangan pasar modal.

          Sistem ekonomi Islam juga melarang riba, baik nasiah maupun fadhal, juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal terdapat bagian khusus untuk pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para petani, sebagai bentuk bantuan untuk mereka, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.

           Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum dikuasai oleh penjualnya, sehingga haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan.

            Sesungguhnya terjadinya goncangan-goncangan pasar modal di Barat dan di bagian dunia lain itu telah menelanjangi kebobrokan sistem ekonomi kapitalis, sistem perseroan terbatas atau syarikah musahaman, sistem bank ribawi, dan sistem uang kertas inkonvertibel. Goncangan-goncangan tersebut juga menunjukan bahwa tidak ada jalan lain bagi dunia untuk keluar dari kerusakan sistem ekonomi kapitalis dan goncangan pasar modal tersebut, selama sistem-sistem itu masih tetap ada.

             Maka yang dapat membebaskan dunia dari kebusukan semua sistem tersebut adalah dengan menghapus secara total sistem ekonomi kapitalis yang rusak, menghapus sistem perseroan atau syarikah musahamah (atau dengan cara mengubahnya menjadi peru- sahaan yang Islami), menghapus sistem bank ribawi (termasuk menghapus riba itu sendiri), serta menghapus sistem uang kertas inkonvertibel dan kembali kepada standar emas dan perak.

Jika semua langkah ini ditempuh, niscaya tak ada lagi inflasi moneter, kredit-kredit bank dengan riba, dan spekulasi-spekulasi yang menyebabkan kegoncangan pasar modal. Akan lenyap pula kebutuhan akan bank-bank ribawi. 

           Dengan demikian, stabilitas ekonomi dunia akan terwujud, krisis moneter akan lenyap, dan tak ada lagi alasan untuk menjustifikasi keberadaan pasar modal. Krisis ekonomi pun akan berakhir. Keadilan dan kesejahteraan yang didambakaan akan terwujud. Begitulah, sistem ekonomi Islam benar-benar akan menyelesaikan semua kegoncangan dan krisis ekonomi yang mengakibatkan derita manusia. Ia merupakan sistem yang ditetapkan oleh Tuhan semesta alam, yang Maha Tahu apa yang baik untuk seluruh makhluk-Nya. Allah berfirman:

﴿أَلاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ﴾

“Apakah Allah Yang Maha menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Q.s. al-Mulk [67]: 14)

                      Karena itu, bila telah demikian jelas bukti-bukti nyata dari tanda-tanda kehancuran Kapitalisme dan telah demikian jelas pula sistem Islam sebagai satu-satunya alternatif, maka tidak boleh ada keraguan sedikitpun pada diri umat Islam dimana pun berada, khususnya di negeri ini, untuk berjuang dengan sungguh-sungguh bagi tegaknya Islam melalui tegaknya syariah dan khilafah karena hanya inilah yang mampu mengantarkan dunia kepada kebaikan yang nyata. Insya Allah.

          Sejumlah paket kebijakan yang direncanakan pemerintah untuk menahan laju gelombang krisis finansial global agar tidak berperanguh buruk terhadap perekonomian Indonesia, seperti di-suspend-nya perdagangan di lantai bursa, program buy-back saham-saham BUMN, perbaikan regulasi di BEI, percepatan belanja negara dan sejumlah langkah lain, dipercaya tidak akan mencukupi, terbukti rupiah terus mendapatkan tekanan hingga mencapai level Rp 10.000 per dollar AS. Kalaulah Indonesia ‘terhindar’ dari dampak lebih buruk, itu sifatnya sementara karena sistem ekonomi dan keuangan Indonesia tidaklah berbeda dengan sistem ekonomi dan keuangan global yang saat ini tengah goncang, yakni kapitalisme. Dengan kata lain, ini hanya menunda kejatuhan. Bahkan, sangat mungkin lebih parah di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar