Sabtu, 30 Oktober 2010

Perampokan Harta Negara


Perampokan di Era Orde Baru 



                 Sebuah konferensi 3 hari diselenggarakan pada bulan November 1967 di Genewa, Swiss. Konferensi yang disponsori oleh The Life Time Corporation ini menghadirkan Pemerintah Indonesia dan para kapitalis raksasa dunia, seperti korporasi minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British American Tobacco, Siemens dan USA Steel. Dalam konferensi tersebut, 
Pemerintah Indonesia yang diwakili ekonom Orde Baru binaan Amerika Serikat (Mafia Berkeley) menyetujui keinginan para kapitalis untuk menjarah sumberdaya alam Indonesia. Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat; sebuah konsorsium AS/Eropa mendapatkan nikel; Raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar bouksit; perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, dan Prancis mendapatkan hutan tropis Sumatera.
              Sejak 1967, Orde Baru mulai meliberalisasi perekonomian nasional dengan mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim Orde Baru. Di area pertambangan yang dikuasai Freeport diperkirakan cadangan emas mencapai 63,7 juta pon, sedangkan tembaga 50,9 milyar pon. Inilah konsesi yang diberikan Orde Baru kepada para kapitalis untuk merampok kekayaan alam Indonesia sebagai imbalan atas dukungan pemerintah Amerika Serikat terhadap kekuasaan diktaktor Soeharto.

              Pada awal kekuasaannya, rezim Orde Baru mengemis kepada AS agar mendapatkan utang dan bantuan mengatasi keterpurukan ekonomi Indonesia. Untuk membantu Indonesia, AS menggunakan pendekatan multilateral dengan melibatkan IMF, Bank Dunia, ADB, dan PBB.
             Sejak itulah utang luar negeri dijadikan sumber pembiayaan pembangunan Indonesia. Sejak itu Indonesia terperosok dalam jebakan utang luar negeri (debt trap) sehingga Pemerintah selalu bergantung kepada asing. Utang luar negeri merupakan metode ampuh bagi para kreditor untuk menguasai SDA Indonesia sekaligus menggali keuntungan finansial dari proyek dan bunga utang.

              John Perkins dalam bukunya, Confessions of Economic Hit Man, mengungkapkan, timnya bekerja untuk meyakinkah Pemerintah Indonesia melakukan pembangunan infrastruktur jalan raya, pembangkit listrik, pelabuhan, bandar udara, dan kawasan industri yang dibiayai oleh utang luar negeri dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan USAID. Setiap pinjaman selalu disertai syarat: Pemerintah Indonesia harus menggunakan perusahaan rekayasa dan konstruksi dari Amerika Serikat. Dana utang luar negeri untuk Indonesia tidak pernah ditransfer ke rekening Pemerintah, melainkan ditransfer dari Washington langsung ke rekening kantor perusahaan-perusahaan rekayasa dan konstruksi Amerika Serikat. Sebaliknya, Pemerintah Indonesia harus membayar cicilan pokok dan bunganya.

             Dominasi utang luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek membuka luas praktik mark up. Dalam penyusunan proyek yang dibiayai utang, nilai proyeknya terlebih dulu di-mark up rata-rata 30% oleh kreditor.Setelah di-mark up, utang itu pun dikorupsi. Menurut Jeffrey A. Winters, selama kekuasaan Orde Baru, US$ 10 miliar pinjaman Bank Dunia dikorupsi  dari total pinjaman US$ 30 miliar.
Dalam skup yang lebih luas, Ketua Tim Ahli Korupsi ADB Soewardi menyatakan sekitar 30-50% utang luar negeri Pemerintah dikorupsi. Pada akhirnya beban cicilan pokok dan bunga utang Indonesia, termasuk biaya mark up dan korupsi, menjadi tanggungan rakyat.

             Dalam catatan Rachmat Basoeki, Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin) yang mengendalikan kebijakan keuangan negara, melalui Bank Indonesia secara diam-diam menyalurkan Kredit Pembauran untuk industri tanpa agunan. Jumlah kredit KLBI selama 1985-1988 yang telah dikucurkan Pemerintah kepada konglomerat mencapai Rp 100 triliun.11 Tidak puas menguras uang negara melalui BI, para konglomerat kembali dimanjakan oleh Menteri Keuangan JB Sumarlin dengan mengeluarkan Pakto 88 yang menjadi awal liberalisasi sistem perbankan Indonesia. Paket deregulasi perbankan ini memberikan kemudahan bagi pengusaha mendirikan bank devisa hanya bermodal Rp 100 miliar dengan syarat personalia yang sangat ringan. Hal ini memberikan kesempatan konglomerat yang bermental perampok pun dapat duduk sebagai komisaris dan direktur bank.
               Para konglomerat, selain membidik bank Pemerintah sebagai sumber dana konglomerasi, juga menjadikan bank swasta yang mereka dirikan sebagai sumber permodalan. Atas nama pembangunan, melalui sistem perbankan ribawi para konglomerat menghisap ratusan triliun uang rakyat untuk kepentingan konglomerasi mereka. Tidaklah aneh, banyak bank swasta melakukan pelanggaran BMPK (Batas Minimum Penyaluran Kredit) karena sebagian besar dana kredit bank disalurkan kepada kelompok usaha mereka sendiri. Datangnya krisis moneter 1997 mengungkap ratusan triliun kredit macet pada sistem perbankan nasional. Namun, para konglomerat sejak medio 1996 telah melarikan dana lebih dari US$ 100 miliar dari bank-bank di Indonesia ke bank-bank di Singapura. 

Perampokan di Era Reformasi
 

                Masuknya IMF ke Indonesia menjadi sumber malapetaka negeri ini. Melalui LoI yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998, Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus mendapatkan komitmen Pemerintah untuk mengambil-alih seluruh utang konglomerat di dalam negeri dan di luar negeri. Komitmen ini dituangkan dalam Keputusan Presiden (Kepres) nomor 24, 26, dan 27 yang diterbitkan pada akhir Januari 1998. Kepres ini merupakan landasan hukum penjaminan Pemerintah atas segala kewajiban pembayaran bank umum dan program penyehatan perbankan nasional.

                  Berdasarkan landasan hukum ini, BI mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 144,536 triliun yang dikucurkan kepada jaringan perbankan nasional. Menurut analisis Dicky Iskandardinata, dana BLBI yang dikucurkan pada bank swasta berbalik menjadi sumber kehancuran nilai rupiah. Terjadinya kebocoran Rp 51 triliun atau US$ 13 miliar dana BLBI diindikasikan digunakan oleh kelompok tertentu penerima BLBI untuk mengambil untung di pasar uang.15 Berdasarkan hasil audit BPK atas penyaluran dana BLBI sebesar Rp 144,536 triliun per 29 Januari 1999, potensi kerugian negara mencapai Rp 138,442 triliun.Total dana BLBI yang dikucurkan BI mencapai Rp 218,31 triliun.

                    Setelah utang-utang konglomerat baik dalam bentuk kredit macet maupun pinjaman luar negeri diambil-alih BI melalui dana BLBI, Pemerintah melaksanakan program penyehatan perbankan nasional di bawah pengawasan IMF. Jumlah dana yang digelontorkan Pemerintah dalam bentuk obligasi rekap (OR) mencapai Rp 427,46 triliun. OR memang bukan dana tunai, tetapi bank nasional yang mendapatkan obligasi rekap dari Pemerintah memiliki hak tagih pada saat jatuh tempo. Seluruh hak tagih bank pemegang obligasi rekap dibebankan kepada rakyat melalui APBN.

                    Jumlah nominal BLBI, program penjaminan, dan OR yang menjadi utang baru rakyat Indonesia mencapai Rp 655,75 triliun.18 Utang ini akan terus bertambah karena beban bunga OR cukup tinggi. Pada tahun 2002 jumlah cicilan bunga OR yang harus dibayar Pemerintah kepada bank-bank pemegang OR mencapai Rp 88,5 triliun.19 Berdasarkan analisis Kwik Kian Gie, periode Januari-September 2002 Bank Mandiri mendapatkan pembayaran bunga OR sebesar Rp 15,16 triliun.20 Bank-bank penerima OR juga diperbolehkan menambah permodalan dengan menjual OR yang mereka pegang di pasar modal.

                   Reformasi politik ekonomi oleh IMF menjadikan Indonesia sebagai ladang penjarahan. Parahnya, penjarahan tersebut dilegalisasi oleh Pemerintah dalam bentuk kepres dan disetujui oleh DPR. Sangat kuat indikasi kerjasama asing, korporat, politisi, birokrat untuk melegalkan perampokan harta negara. Berbagai argumentasi liberal digunakan untuk membenarkan penjualan aset-aset negara dan pengkaplingan SDA.

                   Para pejabat negara dan ekonom neo-liberal memandang beban nominal OR senilai Rp 655,75 triliun yang jumlahnya terus bertambah merupakan konsekuensi logis dari upaya pemulihan ekonomi. Sebaliknya, mereka menganggap anggaran subsidi berbagai kebutuhan publik telah menggerogoti keuangan negara sehingga subsidi harus dihapuskan. Mereka juga memandang BUMN-BUMN tidak efisien sehingga BUMN harus diprivatisasi. Tahun 2008 ini Pemerintah memprivatisasi 37 BUMN kepada swasta dan asing. Bahkan Pemerintah merencanakan akan menjual seluruh saham 14 BUMN yang bergerak di bidang industri.

                   Atas nama investasi, Indonesia dipaksa melegalisasi perampokan SDA oleh para investor. Bahkan dalam skema kontrak dengan investor migas, Pemerintah RI-lah yang harus menanggung seluruh biaya produksi dan biaya kerugian (cost recovery) investor. Tahun 2007 Pemerintah menanggung cost recovery sebesar US$ 8,338 miliar atau setara dengan Rp 76,709 triliun (kurs 9.200/dolar). 


Solusi Islam

Perampokan harta negara terjadi karena lemahnya kemampuan Pemerintah mengelola negara. Faktor ini disebabkan oleh:

1.  Ketundukan Pemerintah pada kepentingan asing dan korporat.

              Sikap pragmatisme dan tamak penguasa dan pejabat negara yang hanya mengejar kedudukan dan keuntungan materi menyebabkan mereka mudah ditundukkan oleh kepentingan asing, baik dengan jalan ditekan maupun disuap. Bahkan mereka sendirilah yang mengemis kepada Barat agar diberikan bantuan meskipun konsekuensinya negara harus digadaikan.

              Islam melarang penguasa negeri-negeri Muslim memberikan kepercayaan kepada bangsa-bangsa kafir apalagi dengan menyerahkan pengaturan kebijakan politik ekonomi negara kepada mereka. Seorang penguasa laksana perisai yang dibelakangnya rakyat berlindung sehingga seharusnya negara mencegah intervensi asing.

               IMF, Bank Dunia, ADB dan utang dari negara-negara kreditor terbukti menyengsarakan rakyat. Lembaga-lembaga ini merupakan penjahat dunia yang memberikan jalan atas perampokan kekayaan alam dan harta negara. Karena itu, hubungan dengan lembaga-lembaga tersebut harus diputuskan.

2.  Ketiadaan konsep (fikrah) dan metode (tharîqah) mengelola negara.

               Ketiadaan konsep dan metode untuk membangun negara menyebabkan Pemerintah menjiplak Kapitalisme yang disodorkan Barat. Akibatnya, daya nalar mereka hampir tidak mampu menjangkau penjarahan asing atas sumberdaya alam Indonesia, perampokan uang negara melalui sistem perbankan ribawi dan penderitaan masyarakat akibat mengalami marginalisasi pembangunan.
 Untuk mengatasi hal ini, syariah Islam mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan harta milik umum, kebijakan keuangan negara, dan kebijakan transaksi keuangan.

                Dari sisi kebijakan pengelolaan keuangan negara, syariah Islam tidak memperbolehkan negara melakukan pinjaman ribawi. Sebagai alternatif sumber-sumber pembiayaan negara, Abdul Qadim Zallum mengklasifikasi sumber penerimaan negara ke dalam tiga pos, yakni: pos harta milik negara (fai’ dan kharaj); pos harta milik umum; dan pos sedekah.

                Potensi sumberdaya alam Indonesia merupakan sumber penerimaan negara yang sangat besar. Namun, dalam APBN 2008 penerimaan SDA non-migas hanya Rp 7,4 triliun.24 Hal ini disebabkan kepemilikan dan hasil-hasil SDA jatuh ke tangan swasta dan asing. Dalam syariah Islam, kekayaan SDA yang jumlahnya melimpah termasuk ke dalam harta milik umum sehingga negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan SDA kepada swasta dan asing. Kekayaan SDA harus dikelola oleh negara dan hasilnya dimasukkan ke dalam pos harta milik umum.

                 Untuk merealisasikan pengelolaan SDA, negara harus memiliki badan-badan yang berfungsi untuk menggali barang tambang, kemudian mengolahnya, menjualnya ke luar negeri, ataupun menyalurkan pemanfaatannya secara langsung kepada masyarakat. Badan-badan yang diperlukan untuk pelayanan publik juga harus dimiliki oleh negara. Karena itu, syariah Islam melarang privatisasi sektor-sektor pemilihan umum (minyak, listrik, gas, emas, dll).

                 Dengan tegaknya kemandirian negara, hukum-hukum keuangan Negara Islam, kepemilikan umum, dan pelarangan transaksi ribawi, maka tidak ada lagi jalan untuk merampok harta negara. Apabila terjadi pelanggaran maka negara akan memberikan hukuman berat. Negara juga melarang pemberian hadiah dan suap kepada pejabat dan aparat negara. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

[JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS /www.jurnal-ekonomi.org]



Ilusi MDG's


               Pada 20-22 September 2010 lalu PBB menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi tentang Millennium Development Goals (MDG) di New York. KTT MDG yang mengangkat tema We Can End Poverty by 2015 dihadiri kurang lebih 150 kepala negara dan pemerintahan. KTT berupaya untuk menggalang komitmen para pemimpin dunia memerangi kemiskinan.

                 Hasil KTT MDG tersebut terangkum dalam sebuah dokumen yang berjudul Keeping the Promise: United to Achieve the Millennium Development Goals”. Inti rekomendasi yang diadopsi dalam Keeping the Promise adalah menguatkan kembali komitmen para pemimpin dunia terhadap MDGs dan membuat langkah konkrit untuk mencapai tujuan MDGs 2015.

                 MDGs bermula dari KTT Milenium yang diselenggarakan PBB pada September 2000 dengan hasil Deklarasi Milenium. Pada sidang PBB ke 56 tahun 2001, Sekretaris Jenderal PBB menyampaikan laporan dengan judul Road Map Towards the Implementation of the UN Millennium Declaration. Laporan ini memuat upaya pencapaian delapan sasaran pembangunan dengan 18 target dan 48 indikator pada tahun 2015 yang kemudian dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs).

Delapan Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) tersebut terdari atas:

  1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem
  2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua
  3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
  4. Menurunkan angka kematian anak
  5. Meningkatkan kesehatan ibu
  6. Memerangi HIV dan aids, malaria dan penyakit lainnya
  7. Memastikan kelestarian lingkungan
  8. Mempromosikan kerjasama global untuk pembangunan

Poin pertama MDGs berisi target pada tahun 2015 jumlah penduduk miskin dunia yang berpenghasilan di bawah $1 dapat dikurangi setengahnya dari 1,3 milyar berdasarkan kondisi tahun 1990.

Kemiskinan yang Berkelanjutan
             Upaya pencapaian target MDGs sudah berjalan 10 tahun sejak diformulasikan dalam Peta Jalan Menuju Implimentasi Deklarasi Milenium PBB. Waktu untuk mencapai target MDGs hanya menyisakan 5 tahun lagi. Namun masalah kemiskinan ekstrim saja masih jauh dari harapan. Dalam The Millennium Development Goals Report 2010 tingkat kemiskinan ekstrim dunia dengan standar 1,25 dollar per hari mencapai 1,4 milyar pada 2005. Jumlah ini lebih tinggi dari 1990 dengan standar $1 per hari.

                Tantangan mengurangi jumlah kemiskinan ekstrim semakin berat dengan krisis keuangan global, krisis energi, dan krisis pangan dunia. Menurut Bank Dunia kemiskinan ekstrim bertambah 50 juta pada 2009 dan 64 juta tahun ini. Krisis membuat tingkat kemiskinan bisa lebih tinggi pada 2015.

                 Permasalahan yang dihadapi tidak hanya masalah jumlah kemiskinan tetapi juga ketimpangan. Tahun 2006, dari sisi Produk Domestik Bruto 6,5 milyar penduduk dunia menghasilkan kekayaan $48,2 trilyun. Penduduk negara-negara maju yang berjumlah 1 milyar menghasilkan kekayaan $36,6 trilyun atau 76% dari PDB dunia. Sebaliknya 2,4 milyar penduduk dari negara-negara berpendapatan rendah hanya menghasilkan $1,6 trilyun.
Setiap 1 penduduk negara maju memiliki pendapatan rata-rata 72 kali lipat dibandingkan pendapatan penduduk di negara yang berpendapatan rendah.

             Angka tersebut menjelaskan jurang pendapatan semakin lebar. Sebab pada tahun 1960 perbedaannya mencapai 30 kali lipat. Padahal sebagian besar sumber daya manusia dan sumber daya alam terdapat di negara-negara berpendapatan rendah.

Jika dibandingkan dengan era kolonialisme perbedaan ketimpangan semakin jauh. Tahun 1913 perbedaannya 11 banding 1. Ini indikator yang menggambarkan tingkat penghisapan pada zaman modern jauh lebih dasyat dibandingkan zaman kolonialisme.

                 Ketimpangan juga terjadi antara penduduk kaya dengan mayoritas penduduk dalam sebuah negara. Sekitar 497 orang paling kaya di dunia pada 2006 memiliki kekayaan $3,5 trilyun. Perbandingannya dengan pendapatan penduduk negara-negara maju sendiri mencapai 14 ribu kali lipat.

Ini bukti sasaran MDGs tahun 2015 hanyalah ilusi. Kemiskinan tidak dapat berakhir tetapi terus berkelanjutan. Sementara negara-negara maju yang diharapkan menjadi penolong juga menghadapi masalah yang tidak kalah pelik.
Di Amerika Serikat misalnya kemiskinan terus bertambah. Sejak 2000 kemiskinan meningkat dari 11,3% menjadi 14,3% pada 2009. Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pun menjadi 43,6 juta orang.

                AS juga menanggung rekor hutang yang paling buruk. Sejak Deklarasi Milenium PBB September 2000, hutang publik AS $5,6 trilyun meningkat 2,4 kali lipat menjadi 13,6 trilyun dollar pada tahun ini. Pembengkakkan hutang didorong oleh defisit anggaran yang semakin besar. Tahun ini defisit AS mencapai 1,294 trilyun dollar sedangkan pada tahun lalu defisit anggaran 1,416 trilyun dollar.

Ilusi MDGs

                MDGs memposisikan kebergantungan dunia kepada negara-negara maju, Bank Dunia dan IMF. Jika tidak ada komitmen dalam memberikan bantuan pembangunan, pemotongan hutang, dan membuka akses pasar bagi ekspor negara-negara berkembang, seolah-olah kemiskinan dunia tidak dapat dientaskan.
KTT MDG September 2010 semakin mengukuhkan pola kebergantungan tersebut. Mengapa MDGs mengukuhkan kebergantungan? Padahal negara-negara maju yang diharapkan menjadi fondasi dalam memberikan bantuan sedang terlilit hutang publik dan defisit anggaran yang sangat besar.

                 Tahun ini defisit anggaran AS setara 10% PDB-nya. Rasio defisit Inggris 13,3%, Perancis 8,6%, Jepang 8,2%, Italia 5,4%, Jerman 5,3%, dan Kanada 5,2%. Mereka juga terlilit hutang yang terus bertambah. Hutang publik AS 96,2% PDB, Jepang 104,6%, Italia 100,8%, Perancis 60,7%, Inggris 59%, Jerman 54,7%, sedangkan Kanada 32,6%.

                Secara rasional tidak mungkin negara-negara maju di tengah permasalahan berat dapat memecahkan masalah kemiskinan dunia ketiga. Justru mereka sedang memerlukan sumber daya untuk membiayai krisis.
Tidak aneh pola kebergantungan dalam MDGs adalah strategi untuk menjebak dunia dalam lingkaran setan ekonomi. Mereka berkepentingan mengalihkan perhatian negara-negara berkembang dan terkebelakang dari masalah yang sebenarnya agar dunia tidak memahami kerusakan Kapitalisme dan penjajahan modern (neoimperialisme).

                Karenanya sangat logis MDGs tidak berbicara tentang apa yang menjadi akar masalah kemiskinan dan bagaimana metode mengatasinya. MDGs tidak sedikit pun menggugat penjajahan ekonomi yang dilakukan negara-negara maju dan tidak juga berbicara sisi fundamental kerusakan ekonomi Kapitalis yang menjadi penyebab krisis pangan, krisis energi, serta krisis ekonomi dan keuangan.

                MDGs hanya berisi seruan dan komitmen belaka. KTT yang digelar pun hanya menegaskan kembali seruan dan komitmen untuk mencapai delapan sasaran MDGs dengan slogan We Can End Poverty by 2015. Bahkan untuk memperkuat opini seruan MDGs, para selebritis dan olahragawan dunia menjadi bagian penting dalam kampanye MDGs.

Memformat Ulang Struktur Ekonomi

                 Kemiskinan dan ketimpangan merupakan problem yang timbul dari kekacauan struktur ekonomi. Inti masalahnya terletak pada distribusi kekayaan. Sehingga untuk memecahkan masalah kemiskinan harus fokus pada masalah ini. Pertanyaannya, model distribusi kekayaan yang seperti apa yang dapat menjadi solusi?

               Sistem ekonomi Kapitalis menciptakan struktur ekonomi yang timpang disebabkan faktor kebebasan kepemilikan yang mendorong setiap orang berorientasi profit dan materialistik. Siapa yang kuat merekalah yang menang yang lemah mati. Di sini berlaku hukum alam.
Kapitalisme tidak hanya menciptakan struktur di mana sejumlah kecil individu menghisap masyarakat, tetapi menjadikan negara-negara kapitalis dan korporasinya sebagai “drakula” yang menghisap sumber daya ekonomi dunia.

                 Untuk itu dunia harus memformat ulang struktur ekonominya. Model yang diajukan Taqiyuddin an-Nabhani dengan berpijak pada syariah Islam dapat dijadikan solusi untuk masalah ini.

                Struktur pertama yang harus dirombak adalah sistem kepemilikan. Islam membagi kepemilikan menjadi kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Kepemilikan individu diakui karena merupakan bagian dari hak manusia untuk mempertahankan hidupnya. Kepemilikan individu diatur agar tidak menzalimi manusia lainnya. Karena itu tidak boleh individu menguasai aset dan sumber daya yang seharusnya masuk dalam kepemilikan negara atau pun kepemilikan umum.

               Struktur kedua yang harus dirombak adalah yang berkaitan dengan masalah mengembangkan kekayaan atau investasi. Sistem ekonomi kapitalis menciptakan kegiatan ekonomi berbasis riba dan judi sehingga perbankan dan bursa saham menjadi poros ekonomi. Akibatnya ekonomi didominasi sektor keuangan yang mempercepat tingkat ketimpangan ekonomi dunia. Sektor ini pula yang menjadi sumber krisis dunia dan berdampak pada penciptaan kemiskinan.

Dalam Islam semua transaksi ekonomi dan pengembangan kekayaan harus terikat hukum syara’ dengan akad-akad yang syar’i dan adil. Wilayah transaksi pun hanya berada di sektor riil pada basis-basis kegiatan ekonomi yang dihalalkan syariah. Tidak ada dikotomi antara sektor riil dan sisi moneter. Sistem moneter hanya berkaitan dengan sistem mata uang emas dan perak tidak ada riba, judi, dan spekulasi.

               Struktur ketiga adalah terciptanya suatu kondisi di mana setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Politik ekonomi Islam harus menjadi basis kebijakan ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah politik yang menjamin setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pokok dan mendorong mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Politik ini mencegah kebiijakan negara yang pro pemilik modal dan anti rakyat sebagaimana ekonomi liberal yang dijalankan Indonesia saat ini.

Langkah Perubahan
               MDGs bukanlah solusi. MDGs menjadi alat imperialisme negara-negara Kapitalis untuk mengalihkan perhatian dunia dari masalah sebenarnya yakni kerusakan ekonomi dan penjajahan. MDGs juga semakin memperkokoh kebergantungan terhadap negara-negara maju.

              Jalan yang harus ditempuh adalah memformat ulang struktur ekonomi dunia dengan sistem ekonomi Islam. Untuk mencapainya langkah perubahan harus dilakukan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangunkan kesadaran dunia akan masalah yang sebenarnya. Langkah kedua memutus mata rantai penjajahan negara-negara Kapitalis. Langkah ketiga adalah mewujudkan sistem khilafah yang akan memimpin dunia membebaskan diri dari penjajahan dan kemiskinan. 
[JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS / www.jurnal-ekonomi.org]


Waspadai Kepentingan Terselubung di Balik Moratorium Oslo


            Indonesia harus mulai waspada terhadap kepentingan-kepentingan yang terselubung di balik Moratorium Oslo yang dinilai hanya akan membawa kerugian bagi negara. Pasalnya, Norwegia yang turut menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan Indonesia atau lebih dikenal dengan Moratorium Oslo, memunyai kepentingan yang sama dengan Indonesia, yaitu negara yang turut mengelola hasil hutan.

 Indonesia harus mewaspadai moratorium, karena Norwegia pun memunyai kepentingan yang sama dengan Indonesia. LoI akan membatasi gerak Indonesia dalam pengelolaan hasil hutan, ungkap pengamat ekonomi dari Indef Aviliani yang dihubungi Media Indonesia, Selasa (29/6).

               Menurutnya, penegakan hukum pengelola hutan seharusnya tidak dimasukkan ke dalam LoI karena terkesan Indonesia sedang diawasi Norwegia. Pemerintah seharusnya mempercayakan kepada para pemengang hak pengelolaan hutan (HPH).
Dana US$1 miliar yang diberikan Norwegia pun dinilai sebagai alat untuk membatasi gerak Indonesia dalam mengelola hutannya sendiri. Tidak ada hibah yang gratis, ujar Aviliani.

             Disamping itu, Indonesia pun sebenarnya belum siap umelakukan kebijakan moratorium tersebut. Karena seharusnya sebelum LoI terlebih dahulu dilakukan konsolidasi atau pembahasan tata ruang dengan mengikutsertakan pemerintah daerah, sehingga informasi kebijakan moratorium biasa tersampaikan secara jelas dan seimbang kepada para stakeholder

            Aviliani mengungkapkan bahwa kebijakan moratorium tersebut akan membawa dampak ekonomi yang besar. Terutama industri ekspor kehutanan, di mana terdapat banyak tenaga kerja yang bergantung pada sektor tersebut. Jangan sampai pembatasan tersebut memberikan dampak terhadap tenaga kerja.

        Pemerintah harus lebih memperhatikan sektor hulu dan hilirnya dibanding mengikuti kemauan Negara pemberi dana. Sebab belum lagi program moratorium tersebut diperkirakan memakan dana yang besar dan tidak sebanding dengan dana yang akan diberikan Norwegia. Dana monitoring akan lebih besar dibanding dana perbaikannya.

Sebelumnya Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan bahwa Kerja sama tersebut merupakan bentuk penghargaan Norwegia terhadap Indonesia. Di mana tujuan dari moratorium tersebut agar hutan lebih tertata dan terkelola lebih baik. “Dengan hutan yang terkelola baik, kesejaheraan rakyat di sekitar hutan pun akan lebih baik,katanya.

Beliau mengatakan, moratorium tidak sepenuhnya diterapkan seluruh sektor kehutanan, karena geothermal, migas, dan yang diperuntukkan bagi kepentingan publik seperti power plant dan waduk menjadi pengecualian. Dan pemerintah akan mengarahkan pengusaha untuk menggunakan lahan terlantar dan lahan hutan tidak berhutan.

"Ada 40 juta hektare hutan tidak berhutan dan 12 juta hektare lahan terlantar. Baik industri maupun perkebunan kelapa sawit seharusnya menggunakan lahan-lahan tersebut,itulah yang ingin kita kelola, bukan hutan primer.

Indonesia harusnya mewaspadai moratorium itu , karena Norwegia pun memunyai kepentingan yang sama dengan Indonesia. dimana tujuan utamanya adalah membatasi gerak Indonesia dalam pengelolaan hasil hutan.
penegakan hukum pengelola hutan seharusnya tidak dimasukkan ke dalam LoI karena terkesan Indonesia sedang diawasi Norwegia. Pemerintah seharusnya mempercayakan kepada para pemengang hak pengelolaan hutan (HPH).
Dana US$1 miliar yang diberikan Norwegia pun dinilai sebagai alat untuk membatasi gerak Indonesia dalam mengelola hutannya sendiri. Tidak ada hibah yang gratis.


Jejak Neoliberalisme di Indonesia

            
             Menjelang digelarnya pemilihan umum presiden pada 8 Juli 2009, “neolib” menjadi salah satu topik paling hangat. Hal ini seiring dengan dipilihnya Boediono oleh SBY sebagai pendampingnya di dalam memimpin Indonesia ke depan.
Tidak dapat dipungkiri, “neolib” atau Neoliberalisme telah menjadi isu menguntungkan bagi kandidat Mega-Pro dan JK-Win dan sebaliknya merugikan kandidat incumbent SBY-Boediono. Isu ini membuat kubu SBY-Boediono “kebakaran jenggot”.

            SBY menyebut pihak-pihak yang menuduhnya “neolib” tidak memahami apa yang disebut dengan Neoliberalisme. Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemerintah tidak mungkin menerapkan sistem ekonomi neoliberal. Begitu pula Pjs Gubernur BI, Miranda S. Goeltom menganggap dirinya yang sudah 42 tahun belajar ekonomi tidak mengenal apa itu neoliberalisme. Sejumlah ekonom seperti Chatib Basri dan Raden Pardede juga menekankan bahwa tidak ada jejak Neoliberalisme di Indonesia.


Definisi dan Akar Ideologi Neoliberalisme

             Saat ini perbincangan tentang Neoliberalisme telah lepas dari akar ideologinya (Kapitalisme), sehingga banyak yang memandang Neoliberalisme hanya sebatas  anti intervensi pemerintah dan anti subsidi. Karena itu pula pasangan SBY-Boediono mengklaim pemerintahannya bukanlah pemerintahan Neoliberal melainkan pemerintahan yang menjalan kebijakan ekonomi jalan tengah. SBY beralasan pemerintahannya masih menerapkan intervensi dan subsidi, termasuk program BLT dan PNPM Mandiri.

              Neoliberalisme juga lebih banyak dipandang sebagai konsep ekonomi pasar berdasarkan Konsensus Washington yang dirumuskan oleh John Williamson (1989). Konsensus Washington yang berisi 10 item liberalisasi ekonomi seperti disiplin fiskal, deregulasi, privatisasi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, dan liberalisasi sektor finansial menjadi standar paket reformasi ekonomi yang ditawarkan (baca: dipaksakan) IMF, Bank Dunia, dan Amerika Serikat kepada dunia ketiga.
Neoliberalisme merupakan yang dinisbatkan kepada  Augustu Pinochet (1873-1990) di Chile hasil perselingkuhan keditaktoran dengan ekonomi pasar bebas (B. Hery Priyono: 2009). Perselingkuhan ini terjadi ketika Pinochet yang meraih kekuasaan melalui kudeta berdarah mengangkat  Chicago boys untuk mengelola kebijakan ekonomi.

             Chicago boys adalah para pemuda Chile yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas Chicago. Selama 1955-1963, 30 pemuda Chile telah mendapat gelar PhD di bidang ekonomi. Di universitas inilah para pemuda tersebut dicuci otaknya dengan pemikiran ekonomi ala mazhab Chicago, yakni mazhab ekonomi yang dikembangkan oleh seorang imigran Yahudi Milton Friedman yang mendapat gelar  Neoliberalisme (Wibowo: 2004).

             Milton Friedman bersama Friedrich August Hayek (ekonom dari Austria) menjadi peletak dasar bangunan Neoliberalisme. Hayek mengunggulkan Kapitalisme pasar bebas dengan menempatkan harga sebagai metode untuk mengoptimalkan alokasi modal, kreativitas manusia, dan tenaga kerja. Sementara Friedman berpandangan insentif individual merupakan cara terbaik untuk menggerakkan ekonomi. Menurut Friedman, Ada satu, dan hanya satu, tanggungjawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber-dayanya untuk aktivitas yang mengabdi akumulasi laba…(B Herry Priyono: 2003).

             Liberal baru yang dikembangkan Friedman dan Hayek tidak dapat dipisahkan dari nilai dan spirit ideologi Kapitalisme yang dibangun dari filsafat liberalisme klasik. Menurut Betrand Russel (2002) Filsafat liberalisme klasik merupakan inti pemikiran asas ideologi Kapitalisme, yakni Sekularisme.
Liberalisme yang diwujudkan dalam kebebasan individu diperlukan untuk mempertahankan dan menyebarkan nilai-nilai sekuler ke seluruh dunia. Kebebasan individu tersebut dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: 
kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan berperilaku (freedom of behavior) (Zallum: 2001). Kebebasan kepemilikan merupakan prinsip dasar sistem ekonomi Kapitalisme yang menonjolkan kepemilikan individu dalam perekonomian.

            Dalam liberalisme klasik Adam Smith, perekonomian harus berjalan tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire). Smith percaya pada doktrin invisible hands (tangan gaib) akan menciptakan keseimbangan secara otomatis. Setiap upaya individu mengejar kepentingannya, maka secara sadar atau pun tidak indvidu tersebut juga mempromosikan kepentingan publik. Dengan kata lain, Smith mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan, maka perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan. Pandangan ekonomi Smith ini kemudian dikenal sebagai ekonomi pasar murni.
Berbeda dengan liberalisme klasik yang masih berbicara kepentingan publik, liberalisme Friedman menempatkan transaksi ekonomi (motif materi) sebagai satu-satunya landasan interaksi antar manusia dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hubungan antar bangsa.

           Meskipun Neoliberalisme mengusung ide pasar bebas, bukan berarti persaingan yang tercipta di pasar berlangsung secara bebas. Dalam bahasa Prof. Claudia von Werlhof (2007) kebebasan ekonomi yang terjadi adalah kebebasan bagi korporasi bukan bagi masyarakat. Begitu pula tidak benar jika dalam kerangka Neoliberalisme negara tidak melakukan campur tangan. Bahkan seringkali dalam merealisasikan kebijakan neolib pemerintah menerapkan kebijakan tangan besi. 

           Tingkat resistensi masyarakat terhadap kebijakan neoliberal sangat besar. Untuk itu, kebijakan neoliberal selalu dibungkus secara apik sebagai bentuk kebohongan publik. Misalnya, globalisasi dan pasar bebas digemba-gemborkan sebagai jalan menuju kemakmuran. Atau privatisasi dianggap sebagai upaya untuk memperluas kepemilikan masyarakat. 

           Terlepas adanya perbedaan Neoliberalisme dengan liberalismenya Adam Smith, serta pandangan yang bertolak belakang dengan mazhab Keynesian yang mengedepankan campur tangan pemerintah, Neoliberalisme merupakan wujud baru Kapitalisme yang lebih serakah dan jahat.

Neoliberal dari Masa ke Masa

            Liberalisasi ekonomi merupakan ciri khas sistem Kapitalisme. Hanya saja bentuk dan cara liberalisasi tersebut mengalami perkembangan seiring dengan perubahan realitas sistem Kapitalisme dan tarik-menarik kepentingan negara besar khususnya Amerika Serikat.

           Dalam booklet Sarana dan Cara Imperialisme Barat di Bidang Ekonomi yang dikeluarkan Hizbut Tahrir (1998), dijelaskan Amerika menyebarkan ide tentang pembangunan ekonomi dan keadilan sosial untuk menggiring negara-negara baru merdeka masuk ke dalam cengkramannya. James Petras (2004) menyebut hal itu sebagai ekpansi penjajah (imperialist expansion) dalam wujud neoliberalisme dan globalisasi. 

            Amerika mendorong pembangunan berbasis hutang hutang dan investasi asing di dunia ketiga. Dengan cara ini, Amerika menjebak mereka dalam perangkap hutang (debt trap) sehingga mudah didikte bahkan hingga bertekuk lutut. 

            Sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Amerika telah mengincar negeri kita. Dalam bahasa David Ransom, Indonesia merupakan “hadiah yang terkaya bagi penjajahan di dunia. Presiden AS, Richard Nixon pernah menyebut Indonesia sebagai hadiah terbesar di wilayah Asing Tenggara (Ransom: 2006). Sedangkan Presiden Lyndon Johnson menyatakan kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagai alasan Amerika mendekati dan membantu Indonesia (Johnson Library: 1967). 

            Amerika berupaya mempengaruhi sistem politik di Indonesia dan menempatkan orang-orangnya di pemerintahan. Soemitro Djojohadikusumo yang menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam pemerintahan koalisi adalah pejabat pro Amerika.
Soemitro bersama Soedjatmoko merupakan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang berorientasi ke Barat. Pada 1949 di School of Advanced International Studies yang dibiayai Ford Foundation, Soemitro mengatakan Sosialisme yang diyakininya termasuk akses seluas-luasnya terhadap sumber daya alam Indonesia dan insentif yang cukup bagi investasi asing. Sedangkan Soedjatmoko di hadapan tokoh-tokoh Amerika di New York menyampaikan strategi Marshal Plan di Eropa bergantung pada ketersediaan sumber daya di Asia

           Sejak 1951 Soemitro menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Di kampus ini, Soemitro bekerjasama dengan Ford Foundation mengatur pemuda Indonesia untuk disekolahkan di kampus terkemuka Amerika, seperti MIT, Cornell, Berkeley, dan Harvard. Inilah cikal bakal lahirnya Mafia Berkeley. 

             Pada saat itu, Ford Foundation dipimpin Paul Hoffman yang juga pemimpin Marshall Plan di Eropa. Tujuan program pendidikan para pemuda Indonesia di Amerika untuk mencetak para administrator modern di dalam pemerintah Indonesia yang secara tidak langsung bekerja di bawah perintah Amerika. Hal ini persis seperti yang dilakukan Amerika terhadap para pemuda Chile yang tergabung dalam Chicago Boys

            Jika Chicago Boys memegang peranan penting di tubuh pemerintahan setelah kudeta berdarah Jenderal Augusto Pinochet yang didukung Amerika, maka Mafia Berkeley pun mendapatkan kedudukan strategis setelah Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno dengan dukungan Amerika pula (Ransom: 2006). 

          Mafia Berkeley sudah memiliki peran penting sejak awal Orba dalam meliberalisasi ekonomi Indonesia. November 1967, Mafia Berkeley mewakili pemerintah Indonesia dalam sebuah konferensi yang digagas Life Time Corporation di Genewa Swiss. Dalam konferensi tersebut, Mafia Berkeley menyetujui pengkaplingan wilayah dan sumber daya alam Indonesia untuk para korporasi raksasa dunia (Pilger: 2008). 

          Pada tahun 1967 pula Undang-Undang Nomor 1 tentang Penanaman Modal Asing disahkan pemerintah. Perusahaan asal Amerika, Freeport merupakan korporasi asing pertama yang memanfaatkan undang-undang tersebut.
         Setahun kemudian, Soeharto mengangkat sejumlah anggota Mafia Berkeley duduk dalam kabinetnya. Soemitro Djojohadikusumo menjadi Meteri Perdagangan, Widjojo Nitisastro Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Emil Salim Wakil Ketua Bappenas, Ali Wardhana Menteri Keuangan, Subroto Direktur Jenderal Pemasaran dan Perdagangan, Moh. Sadli Ketua Tim Penanaman Modal Asing, dan Sudjatmoko Duta Besar RI di Washington (Ransom: 2006).

           Mafia Berkeley memformat pembangunan Indonesia bertumpu pada hutang. Sementara Amerika memainkan peranan melalui IMF, Bank Dunia, ADB, dan PBB. IMF bertugas menciptakan stabilisasi ekonomi, penjadwalan hutang, dan memobilisasi hutang baru. Sedangkan Bank Dunia berperan dalam memandu perencanaan pembangunan dan rekonstruksi perekonomian Indonesia.

           Bergesernya mazhab ekonomi negara-negara besar, dari Keynesian menjadi Neoliberal, semakin mendorong IMF dan Bank Dunia menerapkan program penyesuaian struktural dalam pinjaman yang mereka berikan kepada Indonesia. Pada tahun 1980-an Indonesia melakukan liberalisasi sektor keuangan dan perbankan secara siknifikan, khususnya setelah keluar Pakto 88 melalui tangan Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin).

           Di awal 1990-an, Indonesia sangat menggalakkan investasi asing dan swasta untuk menggenjot pertumbuhan. Akibatnya hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak dari US$ 1,8 miliar pada tahun 1975 menjadi US$ 18,8 pada 1990. Tujuh tahun kemudian hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak 4,5 kali lipat menjadi US$ 82,2 miliar. Beban hutang yang sangat besar inilah yang membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap krisis dan meledak pada pertengahan 1997 (Muttaqin: 2002).

          Sementara itu tekanan beban hutang Orba mendorong pemerintah melakukan privatisasi sejumlah BUMN di pasar modal Indonesia dan internasional sejak tahun 1991 hingga 1997. Dana hasil privatisasi pada periode tersebut sebagian digunakan untuk membayar cicilan hutang pemerintah (Muttaqin: 2008).
Indonesia juga terlibat dalam liberalisasi perdagangan dan pasar bebas khususnya setelah bergabung dengan World Trade Organization (WTO), APEC, dan AFTA.

           Kebijakan neoliberal di Indonesia semakin tidak terkendali dengan masuknya IMF dalam penataan ekonomi sejak akhir 1997. Melalui kontrol yang sangat ketat, IMF memaksa Indonesia menjalankan kebijakan neoliberal, termasuk menalangi hutang swasta melalui BLBI dan merekapitalisasi sistem perbankan nasional yang tengah ambruk dengan biaya Rp 650 trilyun. Momen ini juga dimanfaatkan Bank Dunia, ADB, USAID, dan OECD untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia melalui program pinjaman yang mereka berikan.

            Pemerintahan neoliberal di Indonesia berlangsung menjelang akhir kekuasaan Orde Baru hingga saat ini. Sepanjang itu, pemerintahan neoliberal mengukir prestasi meningkatkan hutang negara dua kali lipat dalam waktu 10 tahun dari US$ 67,3 miliar menjadi US$ 65,7 miliar untuk hutang bilateral/multilateral dan Rp 972,2 trilyun dalam bentuk hutang obligasi. Karenanya, pemerintahan Soerharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY-JK menjadi bagian tidak terpisahkan dari penerapan kebijakan ekonomi neoliberal. Jadi sangat aneh klaim pasangan incumbent SBY-Boediono tidak menjalan ekonomi neoliberal. Begitu pula sama anehnya dengan kedua pasangan calon presiden lainnya yang mengklaim bersih dari neolib, sebab mereka pernah menjadi incumbent.

Kesimpulan

            Indonesia merupakan korban penjajahan Kapitalisme, baik Kapitalisme Keynes pada masa awal Orba maupun Kapitalisme Neoliberal pada saat ini. Karena itu sangat memprihatinkan pejabat negara yang sesungguhnya memiliki peran penting dalam mengubah negeri ini menjadi lebih baik justru menjadi kepanjangan tangan asing. Bahkan agenda liberalisasi yang mereka jalankan jauh lebih liberal dibandingkan negara-negara Kapitalis besar sekali pun.

            Ini pelajaran yang sangat berharga bagi kita bahwa negara-negara penjajah tidak akan pernah rela melepaskan daerah jajahannya. Mereka senantiasa merancang dan memperbaharui bentuk penjajahan. Jika pada awal Orba penjajahan tersebut diwujudkan dalamtopeng pembangunan, maka kini penjajahan dibungkus dalam kerangka globalisasi, pasar bebas, investasi, privatisasi, termasuk demokratisasi dalam ranah politik, liberalisasi agama dan sosial budaya masyarakat.

             Karena itu tawaran konsep Islam untuk Indonesia lebih baik dan kuat dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah menjadi sangat relevan sebagai sebuah solusi. Sebab masalah negeri kita tidak semata-mata masalah personal pemimpin yang neolib malinkan juga akibat bercokolnya sistem Kapitalisme liberal di Indonesia.
[JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS/www.jurnal-ekonomi.org]


Cacatnya Kapitalisme : Tinjauan Kritis Kegagalan Pasar

        
                Kapitalisme merupakan suatu ideologi yang muncul dan berkembang pertama kali di Eropa. Ideologi ini lahir karena adanya kompromi antara kaum gerejawan dan cendikiawan yang disebut dengan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sekularisme merupakan asas berpikir dan standar berprilaku dalam ideologi Kapitalis.

              Disebut ideologi Kapitalis karena sistem ekonomi Kapitalis dengan “kebebasan dalam kepemilikan merupakan aspek yang paling menonjol dari ideologi ini (lihat Nizhamul Islam dalam Bab Kepemimpinan Ideologis dalam Islam). Jadi sudah pasti ideologi Kapitalis dalam rentang zaman akan mengalami perubahan-perubahan karena ia merupakan ideologi hasil kompromi, termasuk dalam hal ini sistem ekonominya. Maka sistem ekonomi Kapitalis mengalami tambal sulam untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya, sebagaimana pendapat para pakar ekonominya sendiri yang mengganti ataupun menutupi kelemahan-kelemahan teori-teori ekonomi Kapitalis sebelumnya karena tidak mampu mengahadapi realitas yang ada di masyarakat.

              Sebagai contoh, dalam buku Wealth of Nations, Adam Smith (Bapak Ekonomi Kapitalis) mengarahkan teorinya pada Merkantilisme, Karl Marx dengan karyanya Kapital menunjukkan meriamnya pada Kapitalisme, maka JM. Keynes menyerang teori Laissez-Faire sebagaimana tertuang dalam General Theory of Employment, Interest, and Money (lihat Dr.L.J. Zimmerman; 196).
Dalam edisi kali ini kita akan membahas campur tangan pemerintah dalam perekonomian karena gagalnya pasar mengatur mekanisme ekonomi yang adil dalam sistem ekonomi Kapitalis.

                Adam Smith, berpendapat perlunya pasar bergerak sendiri melalui mekanisme harga karena adanya peranan sitangan gaib ("invisible hand“ apakah ini tahayul?). Jadi pemerintah/negara tidak boleh memasuki perekonomian. Namun mekanisme pasar tidak dapat memecahkan masalah keadilan dalam distribusi, karena hanya sebagian kecil orang yang dapat mempengaruhi dan menikmati barang/jasa serta sumber-sumber ekonomi dalam perekonomian sedangkan bagi sebagian besar orang lainya tidak dapat.

              Penerapan pandangan tersebut dalam sistem ekonomi Kapitalis di negara-negara Eropa menyebabkan kesenjangan yang luar biasa. Para majikan pemilik modal (kaum Kapitalis) menguasai perekonomian negara sedangkan kaum buruh (sebagian besar rakyat) berada dalam garis kemiskian yang luar biasa dan tertindas karena dijadikan budak. Keadaan ini menyebabkan Karl Marx mengecam habis-habisan Kapitalisme. Inilah yang menyebabkan lahirnya ideologi dan sistem ekonomi komunis/sosialis. Kelemahan dalam sistem ekonomi Kapitalis ini berusaha ditutupi dengan perubahan kebijakan ekonomi dalam negara Kapitalis.

              Depresi besar yang dialami negara-negara Barat pada 1930-an dan serbuan ideologi Komunis/Sosialis melalui bangkitnya Rusia menyapu bersih pandangan laissez fairenya Kapitalis (lihat Umar Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi;55). Karena itu prinsip pemerintah tidak boleh campur tangan dalam ekonomi yang cetuskan Adam Smith sudah mati. Untuk mengatasi kebobrokan sistem ekonomi Kapitalis, maka diadakanlah perombakan besar-besaran terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi negara Kapitalis. Maka para pakar ekonomi Kapitalis berusaha menelorkan teori-teori ekonomi Kapitalis yang baru untuk menggantikan teori-teori ekonomi Kapitalis yang sudah busuk.
Menurut David Hume, pemerintah harus turut serta mengatur padang gembalaan terutama peranan pemerintah dalam mengalokasikan penggunaan padang gembalaan maksudnya sumber-sumber ekonomi (lihat Guritno Mangkoesoebroto, Ekonomi Publik; 34).

            Keynes sang pelapor ekonomi Kapitalis Modern mengungkapkan perlunya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Keynes sendiri merasa heran dengan pemerintah Inggeris dan mayoritas pemerintahan lainnya yang masih menerapkan laissez faire dalam menghadapi krisis ekonomi tahun 1930-an. Menurut Keynes prinsip laissez faire tidak stabil, rumit, dan tidak dapat diandalkan. Maka lahir kebijakan baru dalam negara Kapitalis tentang perlunya campur tangan pemerintah dalam perekonamian.

               Setelah kita mengetahui kebobrokan serta perubahan-perubahan dalam sistem ekonami Kapitalis, serta landasan yang menyebabkan dalam sistem ekonomi Kapitalis itu terjadi perubahan, maka mudah-mudahan terdapat titik terang bagi kita semua terhadap Kapitalisme termasuk perekonomian dunia sekarang yang notabene merupakan wujud dari sisrtem ekonomi Kapitalis.

              Pandangan perlunya campur tangan pemerintah dalam perekonomian (hal ini terutama dibahas dalam bidang Ekonomi Publik Ekonomi Publik bukanlah ilmu yang murni seperti sains yang sifatnya universal, tetapi Ekonomi Publik bagian dari Ilmu Ekonomi Kapitalis) merupakan pandangan dalam sistem ekonomi Kapitalis, karena pandangan tersebut berpijak pada kegagalan pasar dalam Kapitalisme. Sebenarnya masih banyak cacat yang terdapat dalam sistem ekonomi Kapitalis.

              Perubahan-perubahan dalam sistem ekonomi Kapitalis seperti yang kita bahas di atas merupakan bagian dari upaya pelestarian sistem ekonomi Kapitalis yang penuh dengan cacat dan kebusukan. Pandangan bahwa “Tidak mungkin mengambil sistem Kapitalisme dengan sempurna dengan bahaya-bahaya ekonomi dan sosial yang meliputinya merupakan tindakan apologi tanpa batas dari pengagum Kapitalisme baik secara sadar maupun tidak sadar (lihat Abdurrahman Al Maliki, Politik Ekonomi Islam; 7). Hal ini suatu cara menutup kebusukan Kapitalisme seperti lahirnya ide Sistem Ekonomi Campuran karena saat ini tidak ada tidak ada negara yang menerapkan Kapitalisme secara murni ataupun Komunisme secara murni yang cenderung menyembunyikan kebusukan Kapitalisme.

              Upaya-upaya pelestarian sistem ekonomi Kapitalis akan terus berjalan untuk menutupi cacat dan kebuskannya. Negara Kapitalis dan para pengemban ekonomi Kapitalis sudah pasti berusaha untuk mencapai tujuan melestarikan Kapitalisme. Mereka menciptakan opini umum bahwa tentang perencanaan dan pengembangan perekonomian sebagai ilmu ekonomi yang sifatnya yang universal, padahal ilmu ekonomi yang mereka kembangkan itu merupakan pandangan ekonomi Kapitalis. Mereka akan berusaha menyembunyikan cacat dan kebusukan Kapitalisme dari manusia dengan berlindung dibalik ilmu ekonomi.


PLN Terjerambat dalam Jebakan Hutang

        

                PLN merupakan badan usaha milik negara yang sejatinya didirikan untuk memberikan pelayanan listrik kepada seluruh warga negara. Karena itu pula, sudah seharusnya sumber daya yang diperlukan PLN untuk memberikan pelayanan tersebut harus disediakan dan diupayakan oleh negara. Termasuk dalam hal ini sumber pendanaan.

              Namun, arus globalisasi dan neolibisasi yang dijalankan pemerintah khususnya sejak era reformasi telah membuat PLN kehilangan sumber-sumber pendanaan yang selama ini dibackup oleh negara. PLN kini harus mencari sendiri pembiayaan untuk pemeliharaan dan investasi pengembangan kelistrikan di Indonesia.
Konsekwensinya tentu saja PLN dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat lebih bersifat komersiil, di samping kekuatan PLN sendiri saat ini sudah dipecah-pecah dalam kerangka privatisasi.
Salah satu dampak terbesar dari “berlepas tangannya” pemerintah adalah PLN melakukan pembiayaan melalui hutang.

               Seperti diberitakan Kompas hari ini (5/8/2009), PLN baru saja menerbitkan obligasi internasional senilai U$ 750 juta atau setara Rp 7,5 trilyun. Obligasi bertenor 10 tahun tersebut di pasar modal mengalami kelebihan permintaan sebanyak 11 kali lipat, yakni sebesar U$ 8,6 milyar. Obligasi PLN diminta 310 pembeli dari Asia, Amerika Serikat, dan Eropa.
Menyambut besarnya minat atas obligasi PLN, wakil direktur PLN Rudianto (4/8/2009) menyatakan optimis akan penerbitan kembali obligasi. Hal ini sangat memprihatinkan. Sebab, tidak sedikit beban bunga yang harus dibayar PLN mengingat imbal hasil yang dijanjikan mencapai 8,125 persen.

               Kondisi beban keuangan PLN sendiri dari segi jumlah hutang tidak sedikit. Menurut laporan Kompas (5/8/2009), beban hutang yang ditanggung PLN hingga akhir tahun 2008 mencapai Rp 35 trilyun dalam mata uang dollar AS dan Rp 23 trilyun dalam Yen. Ditambah dengan hutang baru PLN senilai U$ 750 juta plus bunganya dan rencana penerbitan kembali obligasi, menjadikan BUMN ini terjerambat dalam lingkaran hutang.

               PLN, sekarang dan ke depan akan selalu terlilit masalah hutang yang berdampak pada perubahan fungsi PLN itu sendiri. Para kreditor PLN sudah pasti menuntut PLN membayar hutang-hutangnya plus bunga tepat waktu sesuai jadwal. Kondisi ini menuntun PLN pada pelayanan yang bersifat komersial dengan mengutamakan pemasukan. Akibatnya, tarif listrik ke depan akan menjadi lebih mahal.

               Masalah hutang PLN dan problem kelistrikan secara menyeluruh tidak dapat ditimpakan kepada BUMN ini. Sebab kondisi PLN sekarang erat kaitannya dengan grand design global yang dikawal IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan WTO. Lembaga-lembaga neoliberal ini selalu menyertakan syarat liberalisasi dan privatisasi sektor publik Indonesia agar pemerintah Indonesia mendapatkan pinjaman. Inilah penjajahan ekonomi terhadap negeri kita.
“Kata kunci” untuk melepaskan PLN dari jerat hutang dan mengembalikan fungsinya ada di tangan pemerintah. Pemerintah harus mengambilalih pemenuhan sumber daya yang dibutuhkan PLN. Memperkuat PLN dengan tidak memisahkan PLN dari sumber daya energi yang dimiliki Indonesia (migas, batubara, dll), produksi, dan distribusi listrik ke masyarakat.

                Namun hal itu hanya akan tercapai jika negara kita mampu membebaskan diri dari cengkraman hutang dan pasar bebas dengan mengelola kekuatan dan potensi ekonomi berdasarkan syariah.
(JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS / www.jurnal-ekonomi.org)


Masya Allah ! Pemerintah Sangat Liberal


         
                 Tegas dan jelas menolak asingisasi perekonomian Amerika Serikat. Begitulah sikap politisi dan pemerintah AS menanggapi keinginan BUMN Cina CNOOC untuk mengakuisisi perusahaan swasta nasionalnya Unocal yang bergerak di bidang migas.
Sikap penolakan AS ini bertentangan dengan agenda Neoliberal yang dikampanyekan AS sendiri. Memang bukan tanpa alasan AS menolak pengambilalihan Unocal oleh Cina. AS memandang membiarkan Unocal menjadi milik asing merupakan tindakan bodoh yang akan mengancam keamanan nasional. Bagi AS lebih baik menjilat ludah sendiri daripada menjual diri.

Berbeda dengan sikap AS, sebagai negara berkembang Indonesia mengambil kebijakan yang jauh lebih liberal. Indonesia sangat berani menjual BUMN-BUMN strategis kepada asing dan swasta nasional. Bahkan untuk memuluskan liberalisasi perekonomian Indonesia, DPR telah mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal tahun 2007.

pertama, disamakannya kedudukan investor lokal dengan investor asing dalam seluruh bidang usaha.  
Kedua, tidak ada pembedaan bidang usaha. 
Ketiga, undang-undang ini melarang negara melakukan nasionalisasi.  
Keempat, penyelesaian sengketa dengan investor asing dilakukan di arbitrase internasional bukan di pengadilan Indonesia.

Seluruh Saham BUMN Industri Dijual

             Perkembangan terbaru tentang agenda privatisasi BUMN 2008 yang disampaikan Kementerian BUMN, jumlah BUMN yang akan diprivatisasi 34 BUMN. Dari 34 BUMN tersebut, Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu menyatakan Kementerian BUMN siap melepas seluruh saham pemerintah Indonesia di 14 BUMN. BUMN ini bergerak di bidang industri dan beberapa BUMN perkapalan dan konstruksi (Bisnis Indonesia Online, 25/1/2007).

Pemerintah di Luar Batas 

           Masya Allah, pemerintah sudah sangat melampaui batas. Pemerintah memandang BUMN laksana barang dagangan yang dapat dijual secara obral dengan sistem partai atau pun eceran. Pemerintah tidak memandang bagaimana mengadakan (memproduksi) barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Bukankah berbagai kelangkaan barang kebutuhan pokok telah terjadi tahun 2007 lalu dan awal tahun ini?

               Salah satunya kelangkaan minyak goreng tahun 2007 lalu yang sangat memberatkan masyarakat karena menyebabkan harganya melonjak 30%. Kelangkaan tersebut ironi mengingat Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di dunia. Menurut data Development Prospects Group, The World Bank 2007, produksi CPO Indonesia 2006/2007 mencapai 16,82 juta Mt dimana 76,40% diekspor. Melonjaknya harga komoditi CPO di pasar internasional menyebabkan produsen CPO Indonesia mengutamakan ekspor daripada pasokan nasional.

               Pemerintah tidak berdaya menghadapi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng kecuali dengan mengandalkan senjata pajak (ekspor). Hal ini disebabkan kendali kepemilikan perkebunan kelapa sawit bukan di tangan pemerintah melainkan di tangan swasta dan investor asing. Bahkan meskipun salah satu BUMN yang bergerak di bidang perkebunan pun tidak dapat diandalkan untuk memasok kebutuhan minyak goreng nasional.

               Kasus-kasus kelangkaan dan kenaikan berbagai komoditi kebutuhan pokok seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah dalam mengelola kebijakan ekonomi. Langkah pemerintah memprivatisasi puluhan BUMN dan menjual seluruh saham BUMN industri sangat membahayakan kepentingan nasional. Karena BUMN industri terkait dengan sektor industri hilirnya.

                Kendali asing dan swasta atas perekonomian nasional akan semakin kuat sementara motif mereka menjalankan usaha hanyalah untuk mendapat laba sebanyak-banyaknya bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mereka berproduksi bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi untuk memenuhi kebutuhan pasar, karena laba hanya akan didapat apabila mereka memasok kebutuhan pasar. 

                Tokoh ekonomi Neoliberal, Milton Friedman menyatakan tanggung jawab sosial bisnis adalah mengerahkan seluruh sumber daya untuk meningkatkan akumulasi laba (Milton Friedman, The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits).

Penutup
                 Kebijakan privatisasi BUMN sangat membahayakan kepentingan nasional. Rasulullah melarang setiap kebijakan yang membahayakan sebagaimana sabdanya: “Tidak boleh ada bahaya (dlarar) dan (saling) membahayakan” (HR Ahmad & Ibn Majah). Sebaliknya kebijakan pemerintah seharusnya berfungsi untuk melindungi kepentingan rakyatnya. Rasulullah saw bersabda: “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)” (HR. Muslim).

                  Kebijakan ini juga melanggar hak umat, sebab BUMN-BUMN yang diprivatisasi terkatagori harta milik umum sehingga pemerintah tidak memiliki kewenangan menjualnya kepada para investor. Apakah pejabat-pejabat yang mengambil kebijakan privatisasi tidak takut dengan hari pembalasan di mana umat akan menuntut hak-haknya yang diambil pemerintah saat ini? Dalam hadis riwayat Bukhari Muslim, Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja seorang pemimpin yang mengurusi kaum muslimin, kemudian ia meninggal sedangkan ia berbuat curang terhadap mereka maka Allah mengharamkan surga baginya.” [HM]