Rabu, 03 November 2010

Makna Dan Jenis Kepemilikan Sistem Ekonomi Islam






Menurut Zallum (1983 ; Az-Zein (1981) ; An-Nabhaniy (1990) ; Abdullah (1990), atas dasar Konsep kepemilikan yang sudah dijelaskan diatas maka asas yang dipergunakan menurut pandangan Islam berdiri
di atas tiga pilar (fundamental) yakni :
1. Pilar Pertama : Pandangan Tentang Kepemilikan (AI-Milkiyyah)
An-Nabhaniy (1990) mengatakan, kepemilikan merupakan izin As-Syari’ (Allah SWT)  untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari’ (Allah SWT) terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya dan kepemilikan tersebut berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk memiliki zat tersebut, sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan atas zat tersebut menjadi sah menurut hukum Islam.
  
Zallum (1983); Az-Zain (1981); An-Nabhaniy (1990); Abdullah (1990) mengemukakan  bahwa kepemilikan (property) menurut pandangan Islam dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : 
1)      Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun  manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk  memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi – jika barangnya diambil  kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk  dihabiskan zatnya seperti dibeli – dari barang tersebut.
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehemsif hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima sebab berikut ini :
(1) Bekerja.
(2) Warisan.
(3) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup.
(4) Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
(5) Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan
harta atau tenaga apapun.

2). Kepemilikan Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin As-Syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori  kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT dan  Rasulullah saw bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka  masing-masing saling membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum  Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang akan sekelompok kecil  orang.
Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan  umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok :
a.       Benda-benda yang merupakan fasilitas umum
Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Rasulullah saw telah menjelaskan dalam sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut. Dari lbnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api.”(HR. Abu Daud)
Anas ra meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan : Wa tsamanuhu haram (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk diperjualbelikan.
lbnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda :
“Tiga hal yang tidak akan pemah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).

b.      Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar
Bahan tambang dapat dikiasifikasikan menjadi dua, yaitu: Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya (20%).
Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.

c.       Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
Yang juga dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum yaitu jalan raya, sungai, masjid dan fasilitas umunn lainnya. Benda-benda ini dari segi bahwa merupakan fasilitas umum adalah hampir sama dengan kelompok pertama. Namun meskipun benda-benda tersebut seperti jenis yang pertama, namun benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama, dari segi sifatnya, bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu.
Barang-barang kelompok pertama dapat dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber kebutuhan suatu komunitas. Misalnya sumur air, mungkin saja dimiliki oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhkan oleh suatu komunitas maka individu tersebut dilarang memilikinya. Berbeda dengan jalan raya, mesjid, sungai dan lain-lain yang memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.

3). Kepemilikan Negara (state property)
Harta-harta yang terrnasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara dapat  memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolanya semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik umum pada dasamya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya.
Berbeda dengan hak milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara.

2. Pilar Kedua : Pengelolaan Kepemilikan (at-tasharruf fi al milkiyah)
Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. kemudian Allah  telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasi harta tersebut melalui izin-Nya  sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. Adanya pemilikan seseorang atas  harta kepemilikian individu tertentu mencakup juga kegiatan memanfaatkan dan mengembangkan kepemilikan harta yang telah dimilikinya tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam memanfaatkan dan mengembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut ia tetap wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan hokum Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengembangan harta. 

3. Pilar Ketiga : Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Manusia
Karena distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam  memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme distribusi kekayaan kepada individu, dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab  kepemilikan serta transaksi-transaksi yang wajar. Hanya saja, perbedaan individu dalam  masalah kemampuan dan pemenuhan terhadap suatu kebutuhan, bisa juga menyebabkan  perbedaan distribusi kekayaan tersebut di antara mereka.  Selain itu perbedaan antara masing-masing individu mungkin saja menyebabkan  terjadinya kesalahan dalam distribusi kekayaan. Kemudian kesalahan tersebut akan  membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat tukar  yang fixed, seperti emas dan perak. Oleh karena itu, syara’ melarang perputaran  kekayaan hanya di antara orang-orang kaya namun mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang. Allah SWT berfirman :
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
(QS. Al-Hasyr : 7)
  
( Kesimpulan )
Secara umum mekanisme yang ditempuh oleh sistem ekonomi Islam dikelompokkan  menjadi dua, yakni mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi. Mekanisme  ekonomi yang ditempuh sistem ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan distribusi kekayaan diantara manusia yang seadil-adilnya, adalah dengan sejumlah cara, yakni :
1. Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan  dalam kepemilikan individu.
2. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan  kepemilikan (tanmiyah al-milkiyah) melalui kegiatan investasi.
3. Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang
ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi
karena tidak terjadi perputaran harta.
4. Mengatasi peredaran kekayaan di satu daerah tertentu saja dengan menggalakkan
berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.

5. Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
6. Larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
7. Pemanfaatan secara optimal hasil dari barang-barang (SDA) milik umum (al- milkiyah
al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air
dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat. 

Didorong oleh sebab-sebab tertentu yang bersifat alamiah, misalnya keadaan alam yang tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadinya musibah bencana alam, dimungkinkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memiliki keadaan tersebut.   Dengan mekanisme ekonomi biasa, distribusi kekayaan dapat saja tidak berjalan karenaorang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikutiderap kegiatan ekonomi secara normal sebagaimana orang lain. Bila dibiarkan saja, orang-orang itu, termasuk mereka yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya) makin terpinggirkan secara ekonomi. Mereka akan menjadi masyarakat yang rentan terhadap perubahan ekonomi.  
Bila terus berlanjut, bisa memicu munculnya problema sosial seperti kriminalitas (pencurian, perampokan), tindakan asusila (pelacuran) dan sebagainya, bahkan mungkin revolusi social Untuk mengatasinya, Islam menempuh berbagai cara. 
Pertama, meneliti apakah mekanisme ekonomi telah berjalan secara normal. Bila terdapat penyimpangan, misalnya adanya monopoli, hambatan masuk (barrier to entry) baik administratif maupun non-adminitratif dan sebagainya, atau kejahatan dalam mekanisme ekonomi (misalnya penimbunan), harus segera dihilangkan.
Bila semua mekanisme ekonomi berjalan sempuma, tapi kesenjangan ekonomi tetap saja terjadi, Islam menempuh cara kedua, yakni melalui mekanisme non-ekonomi. Cara kedua ini bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, yang akan ditempuh dengan beberapa cara.
Pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi tersebut adalah :
1. Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
2. Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
3. Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu
kepada yang memerlukan.
4. Pembagian harta waris kepada ahli waris dan lain-lain. 

Kepemilikan DalamSistem Ekonomi Islam


Memahami sistem ekonomi Islam secara utuh dan komprehensif, selain memerlukan pemahaman tentang Islam juga memerlukan pemahaman yang memadai tentang pengetahuan ekonomi umum mutakhir. Sebaliknva, keterbatasan dalam pemahaman tentang ekonomi umum mutakhir (kapitalis dan sosialis) akan berakibat pada anggapan bahwa sistem ekonomi Islam tidak memiliki konsep operasional, namun hanya memiliki konsep-konsep teoritis dan moral seperti yang terdapat pada hukum-hukum fikih tentang muamalah, seperti perdagangan, sewa-  menyewa, simpan-pinjam dan lain-lain. Dengan kata lain sistem ekonomi Islam hanya  berada pada tatanan konsep teoritis namun tidak memiliki konsep operasional praktis  seperti halnya sistem ekonomi lainnya. Sistem ekonomi Islam mempunyai perbedaan  yang mendasar dengan sistem ekonomi manapun termasuk kapitalis maupun sosialis.  
Perbedaan itu tidak hanya mencakup falsafah ekonominya, namun juga pada konsep-  konsep pokoknya serta pada tataran praktisnya. Meskipun terdapat perbedaan yang fundamental antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya, namun tidak dipungkiri bahwa pada tataran rincian praktis dijumpai beberapa persamaan. Namun pada hakikatnya terdapat perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya karena landasan sistem ekonominya berbeda . Diantara perbedaan yang mendasar berkaitan masalah kepemilikan harta kekayaan. 

Konsep Kepemilikan Harta Kekayaan

Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah dalam hal  konsep kepemilikan harta. Pandangan tentang kepemilikan harta berbeda antara sistem ekonomi Sosialis dengan sistem ekonomi Kapitalis serta berbeda juga dengan sistem ekonomi Islam. Kepemilikan harta (barang dan jasa) dalam Sistem Sosialis dibatasi dari segi jumlah (kuantitas), namun dibebaskan dari segi cara (kualitas) memperoleh harta yang dimiliki. Artinya cara memperolehnya dibebaskan dengan cara apapun yang dapat dilakukan. Sedangkan menurut pandangan Sistem Ekonomi Kapitalis jumlah (kuantitas) kepemilikan harta individu berikut cara memperolehnya (kualitas) tidak dibatasi, yakni dibolehkan dengan cara apapun selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sedangkan menurut sistem ekonomi Islam kepemilikan harta dari segi jumlah (kuantitas) tidak dibatasi namun dibatasi dengan cara-cara tertentu (kualitas) dalam memperoleh harta (ada aturan halal dan haram).
Demikian juga pandangan tentang jenis kepemilikan harta. Di dalam sistem ekonomi sosialis tidak dikenal kepemilikan individu (private property). Yang ada hanya kepemilikan negara (state property) yang dibagikan secara merata kepada seluruh individu masyarakat. Kepemilikan negara selamanya tidak bisa dirubah menjadi kepemilikan individu.
Berbeda dengan itu di dalam Sistem Ekonomi Kapitalis dikenal kepemilikan individu (private property) serta kepemilikan umum (public property). Berbeda lagi dengan Sistem Ekonomi Islam, yang mempunyai pandangan bahwa ada kepemilikan individu (private property), kepemilikan umum (public property) serta kepemilikan negara (state property). 


Konsep Pengelolaan Kepemilikan Harta kekayaan 
Perbedaan lainnya antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah  dalam hal konsep pengelolaan kepemilikan harta, baik dari segi nafkah maupun upaya  pengembangan kepemilikan. Menurut sistem ekonomi konvensional, harta yang telah dimiliki dapat dipergunakan (konsumsi) ataupun di kembangkan (investasi) secara bebas tanpa memperhatikan aspek halal dan haram serta bahayanya bagi masyarakat. Sebagai contoh, membeli dan mengkonsumsi minuman keras (khamr) adalah sesuatu yang dibolehkan, bahkan upaya pembuatannya dalam bentuk pendirian pabrik-pabrik minuman keras dilegalkan dan tidak dilarang.
Sedangkan menurut Islam harta yang telah dimiliki, pemanfaatan (konsumsi) maupun  pengembangannya (investasi) wajib terikat dengan ketentuan halal dan haram. Dengan  demikian maka membeli, mengkonsumsi barang-barang yang haram adalah tidak diperkenankan (dilarang). Termasuk juga upaya investasi berupa pendirian pabrik barang-barang haram juga dilarang. Karena itulah memproduksi, menjual, membeli dan mengkonsumsi minuman keras adalah sesuatu yang dilarang dalam sistem ekonomi Islam. 

Konsep Distribusi Harta kekayaan di Tengah Masyarakat

Perbedaan lainnya antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah  dalam hal konsep distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Menurut sistem ekonomi  konvensional, distribusi kekayaan di tengah masyarakat dilakukan oleh negara secara mutlak.
Negara akan membagikan harta kekayaan kepada individu rakyat dengan sama rata, tanpa memperhatikan lagi kedudukan dan status sosial mereka. Akibatnya adalah meskipun seluruh anggota masyarakat memperoleh harta yang sama, namun penghargaan yang adil terhadap jerih payah setiap orang menjadi tidak ada. Sebab berapapun usaha dan produktivitas yang mereka hasilkan, tetap saja mereka memperoleh pembagian harta (distribusi) yang sama dengan orang lain, meskipun orang tersebut memberikan jerih payah yang kecil atau bahkan sama sekali tidak bekerja. Karena itulah sistem ekonomi sosialis menolak mekanisme pasar (harga) dalam distribusi kekayaan.
Berbeda juga dengan sistem ekonomi kapitalis yang lebih mengandalkan pada mekanisme pasar (harga) dan menolak sejauh mungkin peranan negara secara langsung dalam mendistribusikan harta di tengah masyarakat. Menurut mereka mekanisme harga (pasar) dengan invisible hands-nya akan secara otomatis membuat distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Karena itulah maka sistem ekonomi kapitalis akan mengabaikan setiap orang yang tidak mampu mengikuti mekanisme pasar dengan baik. Seolah-olah menurut mereka hanya orang-orang yang mampu mengikuti makanisme pasar artinya mampu mengikuti persaingan pasarlah yang layak hidup. Sedangkan orang-orang lemah, jompo, cacat tidaklah layak untuk hidup, sebab hanya menjadi beban masyarakat. Sedangkan sistem ekonomi Islam, dalam hal distribusi kekayaan di tengah masyarakat, selain mengandalkan mekanisme ekonomi yang wajar juga mengandalkan mekanisme non ekonomi.
Mekanisme distribusi yang ada dalam sistem ekonomi Islam secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok mekanisme, yaitu
 (1) apa yang disebut mekanisme ekonomi dan
 (2) mekanisme non-ekonomi.
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme utama yang ditempuh oleh Sistem Ekonomi Islam untuk mengatasi persoalan distribusi kekayaan. Mekanisme dijalankan dengan jalan membuat berbagai ketentuan yang menyangkut kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan distribusi kekayaan.
Dengan sejumlah ketentuan-ketentuan yang menyangkut berbagai kegiatan ekonomi tertentu, diyakini distribusi kekayaan itu akan berlangsung normal. Namun jika mekanisme ekonomi tidak dapat atau belum mampu berjalan untuk mengatasi persoalan distribusi, baik karena sebab-sebab alamiah yang menimbulkan kesenjangan, atau pun kondisi-kondisi khusus seperti karena bencana alam, kerusuhan dan lain sebagainya, maka Islam memiliki sejumlah mekanisme non-ekonomi yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi kekayaan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Sistem Ekonomi Islam sangat berbeda dengan  Sistem Ekonomi Kapitalis yang untuk terjadinya distribusi kekayaan mengandalkan kepada mekanisme (harga) pasar. Tegasnya, distribusi kekayaan secara lebih baik tidak bisa dilakukan bila hanya mengandalkan mekanisme ekonomi saja (itupun banyak kegiatan seperti berbagai jenis kegiatan ribawi, juga judi, yang bila dicermati justru menimbulkan hambatan terhadap lancarnya distribusi kekayaan). Maka mestinya harus ada pula mekanisme non ekonomi yang dapat diterapkan untuk mengatasi persoalan distribusi.

Kerangka Pikir Konsep Kepemilikan Dalam Sistem Ekonomi Islam


  Ditunggu yach Commentnya ..... Mudah-mudahan posting ini bermanfaat bagi kita semua ...
Aminnnn Yaa RobbalAlaminnnn....

Sabtu, 30 Oktober 2010

Perampokan Harta Negara


Perampokan di Era Orde Baru 



                 Sebuah konferensi 3 hari diselenggarakan pada bulan November 1967 di Genewa, Swiss. Konferensi yang disponsori oleh The Life Time Corporation ini menghadirkan Pemerintah Indonesia dan para kapitalis raksasa dunia, seperti korporasi minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British American Tobacco, Siemens dan USA Steel. Dalam konferensi tersebut, 
Pemerintah Indonesia yang diwakili ekonom Orde Baru binaan Amerika Serikat (Mafia Berkeley) menyetujui keinginan para kapitalis untuk menjarah sumberdaya alam Indonesia. Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat; sebuah konsorsium AS/Eropa mendapatkan nikel; Raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar bouksit; perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, dan Prancis mendapatkan hutan tropis Sumatera.
              Sejak 1967, Orde Baru mulai meliberalisasi perekonomian nasional dengan mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim Orde Baru. Di area pertambangan yang dikuasai Freeport diperkirakan cadangan emas mencapai 63,7 juta pon, sedangkan tembaga 50,9 milyar pon. Inilah konsesi yang diberikan Orde Baru kepada para kapitalis untuk merampok kekayaan alam Indonesia sebagai imbalan atas dukungan pemerintah Amerika Serikat terhadap kekuasaan diktaktor Soeharto.

              Pada awal kekuasaannya, rezim Orde Baru mengemis kepada AS agar mendapatkan utang dan bantuan mengatasi keterpurukan ekonomi Indonesia. Untuk membantu Indonesia, AS menggunakan pendekatan multilateral dengan melibatkan IMF, Bank Dunia, ADB, dan PBB.
             Sejak itulah utang luar negeri dijadikan sumber pembiayaan pembangunan Indonesia. Sejak itu Indonesia terperosok dalam jebakan utang luar negeri (debt trap) sehingga Pemerintah selalu bergantung kepada asing. Utang luar negeri merupakan metode ampuh bagi para kreditor untuk menguasai SDA Indonesia sekaligus menggali keuntungan finansial dari proyek dan bunga utang.

              John Perkins dalam bukunya, Confessions of Economic Hit Man, mengungkapkan, timnya bekerja untuk meyakinkah Pemerintah Indonesia melakukan pembangunan infrastruktur jalan raya, pembangkit listrik, pelabuhan, bandar udara, dan kawasan industri yang dibiayai oleh utang luar negeri dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan USAID. Setiap pinjaman selalu disertai syarat: Pemerintah Indonesia harus menggunakan perusahaan rekayasa dan konstruksi dari Amerika Serikat. Dana utang luar negeri untuk Indonesia tidak pernah ditransfer ke rekening Pemerintah, melainkan ditransfer dari Washington langsung ke rekening kantor perusahaan-perusahaan rekayasa dan konstruksi Amerika Serikat. Sebaliknya, Pemerintah Indonesia harus membayar cicilan pokok dan bunganya.

             Dominasi utang luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek membuka luas praktik mark up. Dalam penyusunan proyek yang dibiayai utang, nilai proyeknya terlebih dulu di-mark up rata-rata 30% oleh kreditor.Setelah di-mark up, utang itu pun dikorupsi. Menurut Jeffrey A. Winters, selama kekuasaan Orde Baru, US$ 10 miliar pinjaman Bank Dunia dikorupsi  dari total pinjaman US$ 30 miliar.
Dalam skup yang lebih luas, Ketua Tim Ahli Korupsi ADB Soewardi menyatakan sekitar 30-50% utang luar negeri Pemerintah dikorupsi. Pada akhirnya beban cicilan pokok dan bunga utang Indonesia, termasuk biaya mark up dan korupsi, menjadi tanggungan rakyat.

             Dalam catatan Rachmat Basoeki, Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin) yang mengendalikan kebijakan keuangan negara, melalui Bank Indonesia secara diam-diam menyalurkan Kredit Pembauran untuk industri tanpa agunan. Jumlah kredit KLBI selama 1985-1988 yang telah dikucurkan Pemerintah kepada konglomerat mencapai Rp 100 triliun.11 Tidak puas menguras uang negara melalui BI, para konglomerat kembali dimanjakan oleh Menteri Keuangan JB Sumarlin dengan mengeluarkan Pakto 88 yang menjadi awal liberalisasi sistem perbankan Indonesia. Paket deregulasi perbankan ini memberikan kemudahan bagi pengusaha mendirikan bank devisa hanya bermodal Rp 100 miliar dengan syarat personalia yang sangat ringan. Hal ini memberikan kesempatan konglomerat yang bermental perampok pun dapat duduk sebagai komisaris dan direktur bank.
               Para konglomerat, selain membidik bank Pemerintah sebagai sumber dana konglomerasi, juga menjadikan bank swasta yang mereka dirikan sebagai sumber permodalan. Atas nama pembangunan, melalui sistem perbankan ribawi para konglomerat menghisap ratusan triliun uang rakyat untuk kepentingan konglomerasi mereka. Tidaklah aneh, banyak bank swasta melakukan pelanggaran BMPK (Batas Minimum Penyaluran Kredit) karena sebagian besar dana kredit bank disalurkan kepada kelompok usaha mereka sendiri. Datangnya krisis moneter 1997 mengungkap ratusan triliun kredit macet pada sistem perbankan nasional. Namun, para konglomerat sejak medio 1996 telah melarikan dana lebih dari US$ 100 miliar dari bank-bank di Indonesia ke bank-bank di Singapura. 

Perampokan di Era Reformasi
 

                Masuknya IMF ke Indonesia menjadi sumber malapetaka negeri ini. Melalui LoI yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998, Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus mendapatkan komitmen Pemerintah untuk mengambil-alih seluruh utang konglomerat di dalam negeri dan di luar negeri. Komitmen ini dituangkan dalam Keputusan Presiden (Kepres) nomor 24, 26, dan 27 yang diterbitkan pada akhir Januari 1998. Kepres ini merupakan landasan hukum penjaminan Pemerintah atas segala kewajiban pembayaran bank umum dan program penyehatan perbankan nasional.

                  Berdasarkan landasan hukum ini, BI mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 144,536 triliun yang dikucurkan kepada jaringan perbankan nasional. Menurut analisis Dicky Iskandardinata, dana BLBI yang dikucurkan pada bank swasta berbalik menjadi sumber kehancuran nilai rupiah. Terjadinya kebocoran Rp 51 triliun atau US$ 13 miliar dana BLBI diindikasikan digunakan oleh kelompok tertentu penerima BLBI untuk mengambil untung di pasar uang.15 Berdasarkan hasil audit BPK atas penyaluran dana BLBI sebesar Rp 144,536 triliun per 29 Januari 1999, potensi kerugian negara mencapai Rp 138,442 triliun.Total dana BLBI yang dikucurkan BI mencapai Rp 218,31 triliun.

                    Setelah utang-utang konglomerat baik dalam bentuk kredit macet maupun pinjaman luar negeri diambil-alih BI melalui dana BLBI, Pemerintah melaksanakan program penyehatan perbankan nasional di bawah pengawasan IMF. Jumlah dana yang digelontorkan Pemerintah dalam bentuk obligasi rekap (OR) mencapai Rp 427,46 triliun. OR memang bukan dana tunai, tetapi bank nasional yang mendapatkan obligasi rekap dari Pemerintah memiliki hak tagih pada saat jatuh tempo. Seluruh hak tagih bank pemegang obligasi rekap dibebankan kepada rakyat melalui APBN.

                    Jumlah nominal BLBI, program penjaminan, dan OR yang menjadi utang baru rakyat Indonesia mencapai Rp 655,75 triliun.18 Utang ini akan terus bertambah karena beban bunga OR cukup tinggi. Pada tahun 2002 jumlah cicilan bunga OR yang harus dibayar Pemerintah kepada bank-bank pemegang OR mencapai Rp 88,5 triliun.19 Berdasarkan analisis Kwik Kian Gie, periode Januari-September 2002 Bank Mandiri mendapatkan pembayaran bunga OR sebesar Rp 15,16 triliun.20 Bank-bank penerima OR juga diperbolehkan menambah permodalan dengan menjual OR yang mereka pegang di pasar modal.

                   Reformasi politik ekonomi oleh IMF menjadikan Indonesia sebagai ladang penjarahan. Parahnya, penjarahan tersebut dilegalisasi oleh Pemerintah dalam bentuk kepres dan disetujui oleh DPR. Sangat kuat indikasi kerjasama asing, korporat, politisi, birokrat untuk melegalkan perampokan harta negara. Berbagai argumentasi liberal digunakan untuk membenarkan penjualan aset-aset negara dan pengkaplingan SDA.

                   Para pejabat negara dan ekonom neo-liberal memandang beban nominal OR senilai Rp 655,75 triliun yang jumlahnya terus bertambah merupakan konsekuensi logis dari upaya pemulihan ekonomi. Sebaliknya, mereka menganggap anggaran subsidi berbagai kebutuhan publik telah menggerogoti keuangan negara sehingga subsidi harus dihapuskan. Mereka juga memandang BUMN-BUMN tidak efisien sehingga BUMN harus diprivatisasi. Tahun 2008 ini Pemerintah memprivatisasi 37 BUMN kepada swasta dan asing. Bahkan Pemerintah merencanakan akan menjual seluruh saham 14 BUMN yang bergerak di bidang industri.

                   Atas nama investasi, Indonesia dipaksa melegalisasi perampokan SDA oleh para investor. Bahkan dalam skema kontrak dengan investor migas, Pemerintah RI-lah yang harus menanggung seluruh biaya produksi dan biaya kerugian (cost recovery) investor. Tahun 2007 Pemerintah menanggung cost recovery sebesar US$ 8,338 miliar atau setara dengan Rp 76,709 triliun (kurs 9.200/dolar). 


Solusi Islam

Perampokan harta negara terjadi karena lemahnya kemampuan Pemerintah mengelola negara. Faktor ini disebabkan oleh:

1.  Ketundukan Pemerintah pada kepentingan asing dan korporat.

              Sikap pragmatisme dan tamak penguasa dan pejabat negara yang hanya mengejar kedudukan dan keuntungan materi menyebabkan mereka mudah ditundukkan oleh kepentingan asing, baik dengan jalan ditekan maupun disuap. Bahkan mereka sendirilah yang mengemis kepada Barat agar diberikan bantuan meskipun konsekuensinya negara harus digadaikan.

              Islam melarang penguasa negeri-negeri Muslim memberikan kepercayaan kepada bangsa-bangsa kafir apalagi dengan menyerahkan pengaturan kebijakan politik ekonomi negara kepada mereka. Seorang penguasa laksana perisai yang dibelakangnya rakyat berlindung sehingga seharusnya negara mencegah intervensi asing.

               IMF, Bank Dunia, ADB dan utang dari negara-negara kreditor terbukti menyengsarakan rakyat. Lembaga-lembaga ini merupakan penjahat dunia yang memberikan jalan atas perampokan kekayaan alam dan harta negara. Karena itu, hubungan dengan lembaga-lembaga tersebut harus diputuskan.

2.  Ketiadaan konsep (fikrah) dan metode (tharîqah) mengelola negara.

               Ketiadaan konsep dan metode untuk membangun negara menyebabkan Pemerintah menjiplak Kapitalisme yang disodorkan Barat. Akibatnya, daya nalar mereka hampir tidak mampu menjangkau penjarahan asing atas sumberdaya alam Indonesia, perampokan uang negara melalui sistem perbankan ribawi dan penderitaan masyarakat akibat mengalami marginalisasi pembangunan.
 Untuk mengatasi hal ini, syariah Islam mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan harta milik umum, kebijakan keuangan negara, dan kebijakan transaksi keuangan.

                Dari sisi kebijakan pengelolaan keuangan negara, syariah Islam tidak memperbolehkan negara melakukan pinjaman ribawi. Sebagai alternatif sumber-sumber pembiayaan negara, Abdul Qadim Zallum mengklasifikasi sumber penerimaan negara ke dalam tiga pos, yakni: pos harta milik negara (fai’ dan kharaj); pos harta milik umum; dan pos sedekah.

                Potensi sumberdaya alam Indonesia merupakan sumber penerimaan negara yang sangat besar. Namun, dalam APBN 2008 penerimaan SDA non-migas hanya Rp 7,4 triliun.24 Hal ini disebabkan kepemilikan dan hasil-hasil SDA jatuh ke tangan swasta dan asing. Dalam syariah Islam, kekayaan SDA yang jumlahnya melimpah termasuk ke dalam harta milik umum sehingga negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan SDA kepada swasta dan asing. Kekayaan SDA harus dikelola oleh negara dan hasilnya dimasukkan ke dalam pos harta milik umum.

                 Untuk merealisasikan pengelolaan SDA, negara harus memiliki badan-badan yang berfungsi untuk menggali barang tambang, kemudian mengolahnya, menjualnya ke luar negeri, ataupun menyalurkan pemanfaatannya secara langsung kepada masyarakat. Badan-badan yang diperlukan untuk pelayanan publik juga harus dimiliki oleh negara. Karena itu, syariah Islam melarang privatisasi sektor-sektor pemilihan umum (minyak, listrik, gas, emas, dll).

                 Dengan tegaknya kemandirian negara, hukum-hukum keuangan Negara Islam, kepemilikan umum, dan pelarangan transaksi ribawi, maka tidak ada lagi jalan untuk merampok harta negara. Apabila terjadi pelanggaran maka negara akan memberikan hukuman berat. Negara juga melarang pemberian hadiah dan suap kepada pejabat dan aparat negara. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

[JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS /www.jurnal-ekonomi.org]