Rabu, 03 November 2010

Makna Dan Jenis Kepemilikan Sistem Ekonomi Islam






Menurut Zallum (1983 ; Az-Zein (1981) ; An-Nabhaniy (1990) ; Abdullah (1990), atas dasar Konsep kepemilikan yang sudah dijelaskan diatas maka asas yang dipergunakan menurut pandangan Islam berdiri
di atas tiga pilar (fundamental) yakni :
1. Pilar Pertama : Pandangan Tentang Kepemilikan (AI-Milkiyyah)
An-Nabhaniy (1990) mengatakan, kepemilikan merupakan izin As-Syari’ (Allah SWT)  untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari’ (Allah SWT) terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya dan kepemilikan tersebut berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk memiliki zat tersebut, sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan atas zat tersebut menjadi sah menurut hukum Islam.
  
Zallum (1983); Az-Zain (1981); An-Nabhaniy (1990); Abdullah (1990) mengemukakan  bahwa kepemilikan (property) menurut pandangan Islam dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : 
1)      Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun  manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk  memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi – jika barangnya diambil  kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk  dihabiskan zatnya seperti dibeli – dari barang tersebut.
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehemsif hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima sebab berikut ini :
(1) Bekerja.
(2) Warisan.
(3) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup.
(4) Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
(5) Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan
harta atau tenaga apapun.

2). Kepemilikan Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin As-Syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori  kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT dan  Rasulullah saw bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka  masing-masing saling membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum  Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang akan sekelompok kecil  orang.
Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan  umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok :
a.       Benda-benda yang merupakan fasilitas umum
Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Rasulullah saw telah menjelaskan dalam sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut. Dari lbnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api.”(HR. Abu Daud)
Anas ra meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan : Wa tsamanuhu haram (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk diperjualbelikan.
lbnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda :
“Tiga hal yang tidak akan pemah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).

b.      Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar
Bahan tambang dapat dikiasifikasikan menjadi dua, yaitu: Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya (20%).
Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.

c.       Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
Yang juga dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum yaitu jalan raya, sungai, masjid dan fasilitas umunn lainnya. Benda-benda ini dari segi bahwa merupakan fasilitas umum adalah hampir sama dengan kelompok pertama. Namun meskipun benda-benda tersebut seperti jenis yang pertama, namun benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama, dari segi sifatnya, bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu.
Barang-barang kelompok pertama dapat dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber kebutuhan suatu komunitas. Misalnya sumur air, mungkin saja dimiliki oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhkan oleh suatu komunitas maka individu tersebut dilarang memilikinya. Berbeda dengan jalan raya, mesjid, sungai dan lain-lain yang memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.

3). Kepemilikan Negara (state property)
Harta-harta yang terrnasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara dapat  memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolanya semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik umum pada dasamya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya.
Berbeda dengan hak milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara.

2. Pilar Kedua : Pengelolaan Kepemilikan (at-tasharruf fi al milkiyah)
Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. kemudian Allah  telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasi harta tersebut melalui izin-Nya  sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. Adanya pemilikan seseorang atas  harta kepemilikian individu tertentu mencakup juga kegiatan memanfaatkan dan mengembangkan kepemilikan harta yang telah dimilikinya tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam memanfaatkan dan mengembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut ia tetap wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan hokum Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengembangan harta. 

3. Pilar Ketiga : Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Manusia
Karena distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam  memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme distribusi kekayaan kepada individu, dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab  kepemilikan serta transaksi-transaksi yang wajar. Hanya saja, perbedaan individu dalam  masalah kemampuan dan pemenuhan terhadap suatu kebutuhan, bisa juga menyebabkan  perbedaan distribusi kekayaan tersebut di antara mereka.  Selain itu perbedaan antara masing-masing individu mungkin saja menyebabkan  terjadinya kesalahan dalam distribusi kekayaan. Kemudian kesalahan tersebut akan  membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat tukar  yang fixed, seperti emas dan perak. Oleh karena itu, syara’ melarang perputaran  kekayaan hanya di antara orang-orang kaya namun mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang. Allah SWT berfirman :
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
(QS. Al-Hasyr : 7)
  
( Kesimpulan )
Secara umum mekanisme yang ditempuh oleh sistem ekonomi Islam dikelompokkan  menjadi dua, yakni mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi. Mekanisme  ekonomi yang ditempuh sistem ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan distribusi kekayaan diantara manusia yang seadil-adilnya, adalah dengan sejumlah cara, yakni :
1. Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan  dalam kepemilikan individu.
2. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan  kepemilikan (tanmiyah al-milkiyah) melalui kegiatan investasi.
3. Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang
ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi
karena tidak terjadi perputaran harta.
4. Mengatasi peredaran kekayaan di satu daerah tertentu saja dengan menggalakkan
berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.

5. Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
6. Larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
7. Pemanfaatan secara optimal hasil dari barang-barang (SDA) milik umum (al- milkiyah
al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air
dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat. 

Didorong oleh sebab-sebab tertentu yang bersifat alamiah, misalnya keadaan alam yang tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadinya musibah bencana alam, dimungkinkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memiliki keadaan tersebut.   Dengan mekanisme ekonomi biasa, distribusi kekayaan dapat saja tidak berjalan karenaorang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikutiderap kegiatan ekonomi secara normal sebagaimana orang lain. Bila dibiarkan saja, orang-orang itu, termasuk mereka yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya) makin terpinggirkan secara ekonomi. Mereka akan menjadi masyarakat yang rentan terhadap perubahan ekonomi.  
Bila terus berlanjut, bisa memicu munculnya problema sosial seperti kriminalitas (pencurian, perampokan), tindakan asusila (pelacuran) dan sebagainya, bahkan mungkin revolusi social Untuk mengatasinya, Islam menempuh berbagai cara. 
Pertama, meneliti apakah mekanisme ekonomi telah berjalan secara normal. Bila terdapat penyimpangan, misalnya adanya monopoli, hambatan masuk (barrier to entry) baik administratif maupun non-adminitratif dan sebagainya, atau kejahatan dalam mekanisme ekonomi (misalnya penimbunan), harus segera dihilangkan.
Bila semua mekanisme ekonomi berjalan sempuma, tapi kesenjangan ekonomi tetap saja terjadi, Islam menempuh cara kedua, yakni melalui mekanisme non-ekonomi. Cara kedua ini bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, yang akan ditempuh dengan beberapa cara.
Pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi tersebut adalah :
1. Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
2. Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
3. Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu
kepada yang memerlukan.
4. Pembagian harta waris kepada ahli waris dan lain-lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar